“Hidup untuk menghidupkan kehidupan orang lain.”

Maya Stolastika Boleng, perempuan dengan tekad kuat, mengerti benar bagaimana cara berterima kasih kepada bumi yang dipijak. Ketika melihat bola matanya, seolah dua ketulusan memancar dari sana.

Maya sadar betul, bumi membalas setiap hal yang manusia lakukan. Seonggok tanah bisa saja terlihat diam. Tetapi, dalam massa yang lebih besar, atau jika sedang kelaparan, dia tak segan memakan segala rupa kehidupan di atasnya.

Hidup Maya adalah tentang berterima kasih, baik kepada alam maupun manusia. Perempuan berambut ikal ini juga memiliki idealisme di atas rata-rata. Sekali bertekad, dia akan ngeyel sampai semua impiannya terwujud. Dari sana, setiap orang bisa belajar, mimpi, segila apapun itu, pasti bisa menjadi kenyataan.

Si Riang dan Dunianya

Maya kecil adalah sosok yang ceria. Sebelas tahun pertama usianya dihabiskan di Flores, Nusa Tenggara Timur. Di sana, dia tinggal bersama keluarganya.

Menjelang remaja, tepatnya ketika berusia 11 tahun, ayah Maya memutuskan untuk memboyong keluarganya ke Mojokerto, Jawa Timur. Di sana, hidup Maya yang sesungguhnya dimulai.

Di tempatnya yang baru, menginjak masa kuliah, Maya belajar banyak hal, salah satunya tentang makna hidup melalui olahraga yoga. Bersama empat teman lainnya, dia menemukan apa yang disebut hukum alam. Intinya, kurang lebih, sesuatu yang dimulai dengan hal baik akan berakhir dengan baik juga.

Baginya, yoga tak sekadar mengatur napas dan tubuh dengan ritme tertentu, melainkan proses pendewasaan psikis menjadi manusia sejati. Jika digambarkan, Maya dan teman-temannya menjadi filosofis sejak menjadi anggota klub tersebut.

Maya dan Herwita meneruskan Twelve’s Organic pasca tiga sahabatnya resign.

Sejak aktif di klub yoga kampus, Maya menemukan hubungan antara kehidupan dan seni bertanam. Hal itu berkontribusi terhadap pergeseran pandangan anak muda sepertinya yang terlanjur memiliki prinsip totok mahasiswa.

“Tadinya, saya menganut prinsip mahasiswa tulen, yaitu lingkungan berdampak bisnis. Tapi, semakin saya lihat, pandangan itu bukan saya banget. Saya dan teman-teman akhirnya menemukan bahwa seharusnya bisnislah yang berdampak lingkungan. Maksudnya, gimana caranya saya memiliki usaha tapi punya efek positif untuk orang-orang bahkan bumi yang saya tempati.” Kenang Maya sambil sesekali tertawa.

 

Twelve’s Organic: Berhenti Bukanlah Pilihan Terbaik

Yoga, filosofi pertanian organik, dan tekad kuat menjadi modal Maya memulai karier bertaninya. Dengan status mahasiswa semester lima yang tidak datang dari program studi pertanian, dia memulai jalan berliku tanpa basic bercocok tanam.

Kendati kakek neneknya adalah pemilik perkebunan yang baik di Flores, tetapi, bakat merawat dan membudidayakan tanaman tak serta merta bisa diturunkan, terlebih sosok Maya yang biasa hidup enak di kota jarang bersentuhan dengan hal itu. Maka, jadilah lima bersahabat itu melewati tahun-tahun pertama dengan berat.

Tekad Maya telah bulat. Tidak ada yang bisa menghentikannya.

Saat kebun telah siap, Maya menghadapi kebingungan yang besar: siapa yang akan membeli sayurannya? Di luaran sana, masyarakat terlanjur menyukai sayuran berpestisida yang lebih murah. Sementara sayuran organik—yang sebetulnya lebih sehat—tidak begitu diminati karena dianggap mahal.

Apakah Maya dan sahabatnya gentar? Tentu tidak. Malahan, mereka berhasil menyadarkan masyarakat tentang bahaya zat kimia dalam sayuran yang dikonsumsi dalam jangka panjang.

Twelve’s Organic, nama bisnis yang diinisiasi Maya, menjadi saksi betapa besar usahanya. Di lahan seluas 3.000 meter persegi, dia menumpahkan seluruh keluh kesahnya selama ini. Tentang sikap masa bodoh orang-orang terhadap isu lingkungan, kekangan pelanggan besar yang menuntut banyak spesifikasi hasil tanaman, serta stereotip masyarakat yang memandang profesi petani sebagai lahan kerja remeh temeh.

Tak sepenuhnya salah, di daerahnya, masyarakat memilih bekerja sebagai kuli bangunan lantaran memiliki upah yang lebih besar. Langkah Maya sebagai petani sempat dianggap angin lalu dan bentuk tindakan pelarian.

Di awal berdirinya, masyarakat setempat bengong tiap kali Maya menyampaikan filosofi pertanian organik. Kira-kira, arti ekspresi mereka begini, “Anak muda, kuliah di kampus besar, kok malah jadi petani. Mana banyak sekali teorinya. Dampak lingkungan lah, masyarakat lah, bla bla bla. Pasti itu hanya bentuk pelarian. Besok-besok akan berhenti sendiri.”

Nyatanya tidak. Justru Maya menjadi lebih kuat, bahkan akhirnya beberapa orang minta diajari cara bertanam yang benar. Sayangnya, ketika dia merasa semuanya baik-baik saja, tiga rekannya memutuskan mundur. Tinggallah Maya dan satu temannya, Herwita Rosalina, meneruskan Twelve’s Organic. Sayangnya lagi, Maya masih harus berhadapan dengan satu kenyataan lain yang tidak dia sangka.

 

Hiatus

Pada beberapa keadaan, Maya menyayangkan pandangan masyarakat tentang profesi petani. Meski pekerjaan yang mulia, petani kerap dianggap masyarakat kelas dua dalam strata sosial. Stigma bahwa pekerjaan ini tidak menjanjikan jamak ditemui, bahkan di kalangan petani sendiri.

Respon yang sama ditunjukkan orang tua Maya. Seperti masyarakat lain, mereka meragukan masa depan anaknya jika bertani. Dengan berat hati, keduanya meminta Maya yang baru saja lulus dari program studi Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya bekerja di perusahaan.

Orang tua Maya awalnya tidak setuju.

Hal ini sempat membuat Maya terpuruk. Tapi, di saat yang sama, dia dan Herwita bertekad untuk membuktikan diri. Mereka terpaksa hiatus dari Twelves’s Organic dan memutuskan pergi ke Bali.

Mereka bekerja di salah satu biro perjalanan wisata. Di sana, keduanya bekerja sesuai SOP. Maya dan Herwita ingin membuktikan bahwa mereka bukanlah anak depresi yang tidak punya kemampuan.

Ketekunannya berbuah manis. Pemilik biro menawarkan posisi strategis untuknya. Namun, dia merasa pembuktiannya telah selesai. Akhirnya, Maya kembali ke Mojokerto untuk meneruskan bisnisnya yang terhenti.

 

Twelve’s Organic: Wajah dan Semangat Baru

Banyak pelajaran besar yang didapat Maya dari pasang surut bisnisnya, salah satunya adalah terus maju selama berada di jalan yang benar. Setelah hiatus, Maya menemukan semangat baru yang semakin memperkuat alasannya mengembangkan Twelve’s Organic.

Maya dan hasil panennya.

Bekerja di biro perjalanan, berbagai respon masyarakat, dan mundurnya tiga sahabat dari bisnis membuatnya ditempa secara tidak langsung. Dengan tabiatnya yang senang memarodikan kesedihan, Maya menjadi lebih kuat dari sebelumnya.

Setahun berlalu, Twelve’s Organic mengalami pertumbuhan yang pesat. Maya mulai memasok sayuran untuk beberapa pusat perbelanjaan, rumah makan, serta puluhan rumah tangga. Dia tidak menyangka jika bisnis yang dimulai dengan nekat itu berhasil.

Tahun 2015, kembali Maya diusik mengenai esensi keberadaannya. Dia dan bisnisnya bertumbuh, tapi tidak dengan lingkungannya. Maka, bersama Herwita, Maya mulai serius menggelar workshop atau pertemuan dengan masyarakat sekitar untuk membahas masalah pertanian.

Dinamai kelompok madani, Maya berhasil mengajak 30 masyarakat—yang mayoritas perempuan—untuk menerapkan cara pertanian organik. Dengan sabar, dia menanamkan pemahaman mengenai pentingnya menjaga keseimbangan antara manusai dengan alam. Sebab, sejatinya, di atas dampak eknomi, ada dampak ekologi yang memberi pengaruh jangka panjang kepada generasi selanjutnya.

Maya selalu punya tekad kuat.

Maya tahu, meski dia menjelaskan sesederhana mungkin, akan ada masyarakat yang menolak cara bertaninya. Hal itu benar terjadi. Beberapa masyarakat berkilah bahwa mereka sudah nyaman dengan cara instan yang menggunakan pestisida.

Tentu saja, hal itu berada di luar kuasa Maya. Dia tidak akan memaksa apapun. Jika beberapa orang memilih bertani dengan cara lama, itu urusan mereka.

Seperti biasa, Tuhan selalu memihak orang-orang baik. Ketika seorang hamba telah yakin, Tuhan tidak akan segan memberi pertolongan.

Dalam kisah Maya, Tuhan memberi bantuan berupa kesabaran tanpa batas. Seberapa berat tantangan yang dihadapi, Maya tetap berusaha berbuat baik untuk siapapun. Hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun.

“Twelve’s Organic dan Kelompok Madani sempat memasok sayuran organik ke mall dan restoran. Tapi, sepertinya prinsip kami nggak cocok dengan mereka. Mereka menuntut spesifikasi agar produk kami bisa dijual. Di sisi lain, hal itu jelas memberatkan petani. Dengan pertanian organik, kita nggak bisa menentukan sebesar apa tanaman yang dihasilkan. Karena, sejatinya kami menjual kualitas, bukan bentuk.”

Hingga kini, Maya aktif mengembangkan Twelve’s Organic. Berkat tekad kuatnya, dia telah memiliki 1.200-an pelanggan tetap. Hal yang membuatnya begitu bersyukur adalah ketika pada akhirnya orang tuanya percaya dengan pilihannya. Dari sana, Maya semakin yakin bahwa dirinya, Twelve’s Organic, dan Kelompok Madani bisa memberi arti bagi lingkungan sekitar.

 

Duta Petani Muda dan Satu Indonesia Awards

Tahun-tahun Maya berikutnya berjalan dengan baik. Twelve’s Organic yang dia rintis berhasil memperolah kepercayaan masyarakat. Setiap hari, banyak pesanan yang datang dari berbagai tempat.

Maya juga bisa tersenyum lebih lebar karena Kelompok Madani yang dia bentuk berhasil mengangkat perekonomian anggotanya. Tiga puluh petani dari berbagai usia telah mampu memasarkan produk berkualitas dan segar.

Kiprah Maya dalam memajukan dunia pertanian ternyata mendapat sorotan. Di tahun 2016, dirinya berhasil meriah  penghargaan Duta Petani Muda. Keberhasilan yang dia peroleh didedikasikan untuk semua petani binaannya.

Kiprah Maya dalam dunia pertanian mengantarkannya memperoleh berbagai penghargaan, salah satunya Satu Indonesia Awards.

Lalu, menjelang akhir tahun 2019, dia berhasil memenangkan lagi satu penghargaan, yakni Satu Indonesia Awards. Maya tak menyangka akan menerima awards dari Astra Internasional. Sebab, dirinya merasa tidak pernah mendaftarkan diri.

Maya baru tahu, ternyata dia didaftarkan seorang temannya. Awalnya, tidak ada ekspektasi apapun dalam ajang ini karena jumlah pendaftar yang banyak. Dalam hati, bisa membantu sesama saja sudah sukur.

Di tengah kesibukan mengurus kebun, Maya mendapat undangan untuk menghadiri puncak penganugerahan Satu Indonesia Awards. Dia tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya ketika penghargaan di bidang lingkungan diberikan kepadanya. Bagi perempuan kelahiran 34 tahun silam itu, penghargaan yang dia peroleh adalah pengingat ketika semangatnya tengah turun.

“Semua pencapaian itu adalah pengingat bahwa semua yang sudah saya lakukan akan tetap saya jalankan dengan tanggung jawab yang lebih besar.” Pangkasnya.

 

Maya dan Harapannya untuk Indonesia

Maya Stolastika Boleng adalah contoh sempurna partisipasi perempuan Indonesia masa kini. Dia berusaha di bidang yang dia sukai untuk kebaikan banyak orang karena #KitaSATUIndonesia.

Baginya, berbakti untuk negara adalah bentuk ucapan terima kasih atas kehadirannya di tengah-tengah masyarakat. Tiap kali melihat masalah pertanian yang pelik, dirinya merasa terpanggil untuk membantu memecahkan. Kendati lulusan sastra Inggris, Maya membuktikan bahwa nasib tak ditentukan ijazah, melainkan keberanian.

Keberanian bermimpi adalah kunci keberhasilan Maya.

Jika diberi kesempatan lain untuk mengubah wajah negeri, Maya bercita-cita ingin mengenalkan pertanian organik ke setiap daerah untuk #IndonesiaBicaraBaik. Menurutnya, cara bertani ini membebaskan petani, memberi pangan yang cukup, dan yang terpenting menghasilkan tanpa merusak.

Maya berpesan kepada setiap anak muda agar mengikuti hati nurani mereka. Sebab, tidak ada yang salah dengan menjadi berbeda.

“Jangan pernah berhenti. Karena, sekali saja kamu menyerah, artinya kamu kalah. Pastikan kamu berada on the right track. Ketika kamu berada di sana, maju saja.”

Maya Stolastika Boleng, 2019