Berjuang demi Nyawa di Negeri Seribu Parit
Media Online http://m.riaupos.co/218657-berita-berjuang-demi-nyawa-di-negeri-seribu-parit.html
Oleh: Muhammad Amin , Kategori: Wartawan (Riau Pos)

PERIKSA LANSIA: Rosmiati memeriksa lansia yang berobat kepadanya, beberapa waktu lalu.(MUHAMMAD AMIN/RIAUPOS)


Berjuang demi Nyawa di Negeri Seribu Parit

 

Mereka harus bertaruh nyawa saat bersalin. Apalagi di kawasan-kawasan terpencil dan tertinggal. Salah satunya di Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Kawasan berpulau dengan julukan Negeri Seribu Parit ini masih minim infrastruktur dasar dan kesehatan. Untunglah hadir pejuang dan penyelamat nyawa ibu dan anak di sana dengan sejumlah ide dan inovasinya.

 

 

 

Harmi (30) harus ditandu selama setengah jam sebelum sampai ke ambulans desa berupa pompon (sampan bermesin tempel). Ibu hamil yang mengalami pendarahan (retensio plasenta) ini harus dirujuk ke RS Raja Musa Guntung, yang kemudian dirujuk lagi ke RS Puri Husada Tembilahan dengan waktu tempuh tiga jam. Tandu yang membawanya benar-benar darurat, yakni beberapa kain panjang yang dikaitkan dengan bambu. Di dalam kain panjang itulah sang ibu hamil tergolek. Beberapa pria membawa tandu darurat itu, plus perlengkapan medis seperti tabung infus. Jalan becek, berlumpur, penuh ilalang dan semak jadi jalur pengangkutan tandu itu. Harmi masih beruntung karena ada ambulans desa yang bisa dipakai. Sebab, jika tidak, nyawanya mungkin tak tertolong. Sebab, kondisinya tak mungkin bisa ditangani oleh bidan desa karena peralatan medis yang tidak memadai. Setelah sampai di RS Puri Husada Tembilahan, dia mendapatkan pelayanan lebih baik dan melahirkan bayi kembar perempuan. Ibu dan bayinya pun selamat.

 

Kisah Harmi terjadi di Parit Satria Jaya Desa Gembaran, Kecamatan Teluk Belengkong, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Rosmiati, Bidan Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) Tunggal Rahayu Jaya, Kecamatan Teluk Belengkong, tetangga desa itu, turut membantu. Di desanya memang sudah ada program ambulans desa yang digagasnya.

 

Rosmiati menyebutkan, ketika pertama kali bertugas di Desa Tunggal Rahayu Jaya, pada 2008, angka kematian ibu dan bayi relatif tinggi. Dalam setahun, terdapat rata-rata dua ibu dan atau dua bayi yang meninggal saat proses persalinan.

 

"Angka ini relatif tinggi dan sangat mencemaskan," ujar Rosmiati kepada kami, Rabu (25/12).

 

Rosmiati mengidentifikasi, salah satu penyebab tingginya angka kematian ibu dan bayi saat proses persalinan adalah faktor jarak dan waktu. Beberapa kondisi ibu melahirkan memang tidak bisa ditangani bidan saja, tapi harus dirujuk ke rumah sakit.

 

Beberapa alasan yang paling sering ditemukan pada ibu hamil (bumil) berisiko tinggi (risti) saat melahirkan adalah anemia. Jika anemia, maka risiko pendarahan cukup tinggi dan perlu dirujuk ke rumah sakit. Angkanya mencapai sekitar 25 persen. Berikutnya adalah keracunan dalam kehamilan atau preeklamsia. Risiko bumil ini mencapai 20 persen. Yang lainnya adalah sungsang. Tapi kondisi sungsang relatif jarang, hanya sekitar satu orang per tahun. Itu pun belum tentu.

 

"Kalau kondisi itu terjadi, dan terlambat dirujuk, maka risiko kematian sangat tinggi," ujar Rosmiati.

 

Masalahnya, rumah sakit jaraknya relatif jauh. Yang terdekat adalah Rumah Sakit (RS) Raja Musa di Guntung, Kecamatan Kateman. Jarak dan waktu tempuh ke sana mencapai dua jam menggunakan jalan darat, plus penyeberangan pompong (sampan mesin) sekitar sepuluh menit. Jika menggunakan kendaraan roda dua, kendaraan dapat dibawa ikut ke atas pompong dan dibawa ikut menyeberang.

 

Ketika kondisi hujan, maka tidak bisa dibawa menggunakan sepeda motor. Sebab, jalan yang becek tidak memungkinkan untuk membawa bumil ke rumah sakit. Kondisi jalan sebagai infrastruktur dasar memang belum benar-benar merata karena banyaknya desa-desa terpencil dan terisolasi di sana. Belum lagi banyaknya parit, lahan gambut yang basah, dan kontur tanah yang labil. Dalam kondisi itu, pasien harus dibawa menggunakan kapal cepat (speedboat). Waktu tempuh memang lebih cepat, yakni sekitar satu jam, tapi biayanya lebih mahal.

 

Jika kondisi pasien sudah parah dan hanya dapat berbaring, maka pasien harus dibawa menggunakan pompong yang harus dicarter (disewa). Pasien juga harus dirujuk ke RS Puri Husada Tembilahan karena peralatannya lebih lengkap. Begitu juga dokter dan tenaga medisnya. Tapi biayanya tentu lebih mahal. Mencarter pompong ke Tembilahan di siang hari diperlukan dana Rp2,5 juta. Jika kondisinya memaksa bumil dibawa pada malam hari, maka ongkos carter lebih mahal lagi, yakni Rp3 juta. Padahal, jika menggunakan angkutan reguler, hanya diperlukan Rp150 ribu untuk satu orang dengan waktu tempuh tiga jam perjalanan.

 

"Kadang ketiadaan biaya, keterlambatan, dan kurang antisipasi lainnya menyebabkan pasien dan bayinya meninggal," ujar Rosmiati.

 

Inovasi “Asuransi” ala sang Bidan

 

Ketika itu, Oktober 2008, Rosmiati ditempatkan sebagai bidan pegawai tidak tetap (PTT) di Desa Tunggal Rahayu Jaya. Dia pun melihat fenomena angka kematian ibu dan bayi yang relatif tinggi di sana. Sebagai satu-satunya bidan di desa berpenduduk 1030 jiwa dengan 274 kepala keluarga (KK) itu, maka dia merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan nyawa ibu dan calon bayinya.

 

"Sangat sedih rasanya kalau ada ibu dan bayi yang meninggal," ujarnya.

 

Untuk itulah, mulai Januari 2009, dia merencanakan program tabungan ibu bersalin (TIB). Mulai dari perencanaan hingga aplikasi di lapangan dilakukannya sendirian. Tapi tentu saja dia melibatkan perangkat desa dan kader Pos Yandu serta PKK setempat untuk membantu. Program TIB ini dimaksudkan agar kaum ibu yang sudah diketahui hamil mulai menabung untuk biaya persalinan. Tidak ditentukan berapa jumlahnya per bulan, tapi dianjurkan tetap ada. Penghasilan penduduk Desa Tunggal Rahayu Jaya yang kurang begitu baik menyebabkan awalnya mereka enggan mengikuti program ini. Jangankan menabung, untuk keperluan sehari-hari saja mereka berat. Kebanyakan, penduduk Desa Tunggal Rahayu Jaya bekerja sebagai buruh pengangkut kelapa. Inhil memang merupakan kawasan perkebunan kelapa terbesar di Indonesia. Tapi, tak banyak yang memiliki kebun sendiri. Sebagian justru bekerja sebagai buruh pada beberapa perkebunan kelapa. Yang terbesar adalah PT Pulau Sambu di Guntung, sekitar dua jam perjalanan dari desa itu. Selain sebagai buruh perkebunan kelapa, ada juga yang bekerja sebagai petani, terutama sayur-sayuran.

 

Kendati awalnya berat, tapi pelan-pelan warga akhirnya bersedia menyisihkan uangnya untuk TIB ini. Rosmiati tidak menetapkan berapa jumlah per bulan. Tapi dia mematok angka minimal, yakni Rp350 ribu selama masa kehamilan. Angka minimal ini penting agar tidak terjadi kendala saat kondisi mendesak, yakni biaya transportasi ketika bumil dirujuk ke rumah sakit.

 

"Kalau pun tidak dipakai saat melahirkan, paling tidak pasti dipakai satu kali saat USG (ultrasonografi, red) di RS Raja Musa di Guntung," ujar Rosmiati.

 

Dalam standar pelayanan bumil, USG memang harus dilakukan minimal satu kali selama masa kehamilan, yakni saat bulan ketujuh. Itu pula yang ditekankan Rosmiati setiap kali memberikan penyuluhan kepada bumil. Sebab, dari USG itu dapat diketahui bagaimana kondisi bayi, kondisi ibu, dan kemungkinan persalinannya.

 

Dalam praktiknya, program ini memang banyak memberi manfaat kepada warga. Sebab, kendati biaya kesehatan, termasuk melahirkan sudah dijamin BPJS, tapi tidak dengan biaya transportasi. Inilah yang kerap menjadi kendala. Teknis penyimpanan dana itu sederhana. Bumil atau suaminya menyetorkan dana seberapa yang ada kepada tim yang dibentuk, yang terdiri dari kader Pos Yandu dan PKK. Rosmiati sendiri yang menyimpan uangnya. Banyak yang akhirnya menyimpan uang lebih dari Rp350 ribu. Maksimal ada yang punya tabungan hingga Rp2,5 juta. Uang itu dikembalikan utuh kepada para bumil ketika mereka memerlukannya.

 

Selain program TIB, Rosmiati juga menginisiasi program lainnya yakni tabungan dana sehat (TDS). Program ini dilaksanakan setahun berselang. Program “asuransi” ala bidan desa ini adalah iuran sebesar Rp2 ribu per bulan per KK. Sangat kecil. Tapi dampaknya besar. Sebab, dana ini digunakan untuk bantuan transportasi bagi setiap warga yang sakit yang perlu dirujuk ke RS Raja Musa di Guntung atau RS Puri Husada Tembilahan. Jumlahnya Rp500 ribu sekali diberikan. Berbeda dengan TIB, yang khusus untuk bumil, program ini untuk semua penyakit. Sebagai bidan desa, Rosmiati sebenarnya sama dengan mantri di zaman dulu, yakni mengobati semua jenis penyakit, tidak hanya melahirkan. Mulai demam hingga sakit gigi ditanganinya. Mulai dari bayi hingga lansia diurusnya. Tapi tentu tak semua bisa ditangani bidan desa. Dalam situasi tertentu, diperlukan rujukan ke rumah sakit.

 

"Nah, selain membuat surat rujukan, kami juga memberikan uang dari dana sehat itu," ujarnya.

 

Sama seperti program TIB, awalnya program tabungan dana sehat juga mendapat penolakan dari sebagian warga. Tapi, kemudian pelan-pelan warga mau menjalani karena merasakan benar manfaatnya. Sebenarnya, pihak desa juga punya dana sosial desa untuk bantuan biaya transportasi bagi yang sakit. Tapi harus diajukan dulu. Beda dengan dana sehat yang bisa langsung diberikan ketika ada yang perlu dirujuk.

 

Jika dikalkulasi per bulan, maka dari iuran Rp2 ribu per KK itu akan dikumpulkan dana sebesar sekitar Rp548 ribu. Tidak tiap bulan juga ada yang dirujuk ke rumah sakit.

 

"Kadang ada satu, kadang tak ada. Tapi pernah juga sampai tiga orang per bulan," ujar Rosmiati.

 

Inovasi Berbuah Penghargaan

 

Berkat dua program ini, tentu saja warga merasa terbantu. Tidak sedikit yang menyampaikan rasa terima kasihnya. Bagi Rosmiati, yang terpenting adalah membantu sesama dan menyelamatkan nyawa-nyawa. Selama beberapa tahun berikutnya program ini terus berjalan.

 

Tanpa sepengetahuan dirinya, Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Cabang Inhil mengajukan namanya dalam program SATU Indonesia Awards dari PT Astra International Tbk. Rosmiati yang merupakan Ketua IBI Ranting Teluk Belengkong diajukan karena program-program yang dibuatnya dianggap cukup fenomenal di tingkat Kabupaten Inhil. Tapi dia sendiri tidak tahu bagaimana prosesnya. Sampai kemudian tim dari SATU Indonesia Awards datang untuk memverifikasi program-program yang dijalankannya. Setelah melalui proses verifikasi itu, dia dinyatakan layak mendapatkan penghargaan sebagai penggerak kesehatan ibu dan anak. Penghargaan diberikan pada 20 Oktober 2012.

 

Akan tetapi, ketika itu, Rosmiati sedang hamil tua dan dalam proses melahirkan. Dia sendiri tak datang dalam pemberian penghargaan tersebut. Tapi dia bersyukur dan berterima kasih atas penghargaan itu.

 

"Sebagai rasa syukur saya, anak saya yang lahir ketika itu saya beri nama Astra," ujarnya sambil tersenyum.

 

Donor Darah Berjalan, Suami Siaga, hingga Ambulans Desa

 

Mendapatkan Satu Indonesia Award tidak membuat Rosmiati stagnan atau berhenti melayani dan berinovasi. Dia melihat masih ada beberapa masalah krusial dalam pelayanan kesehatan yang perlu dibenahi. Apalagi, selain mendapatkan sejumlah dana sebagai hadiah, dia juga mendapatkan beberapa peralatan medis untuk menunjang kinerjanya sebagai bidan desa. Di antaranya alat untuk menentukan golongan darah.

 

Makanya kemudian dia membuat program baru yakni donor darah berjalan, tak berapa setelah itu. Setiap ibu hamil yang berisiko tinggi diminta mencari pendonor darah jika sewaktu-waktu perlu tindakan medis yang memerlukan donor darah. Para pendonor ini berjumlah minimal empat orang. Mereka melakukan perjanjian (MoU) dengan ibu hamil dan keluarganya untuk siap menjadi pendonor darah ketika masa kelahiran tiba. Biasanya ditentukan dua pekan sebelum persalinan, para calon pendonor ini akan diberi tahu tentang kesiapan mereka mendonor dan berangkat. Jika kondisinya memang diperlukan pendonoran darah, maka empat pendonor ini akan berangkat bersama ibu yang akan melahirkan menuju rumah sakit rujukan. Donor dilakukan di rumah sakit rujukan.

 

"Jadi karena dilakukan di rumah sakit, makanya saya sebut donor darah berjalan," ujar Rosmiati.

 

Pada tahun 2015, Rosmiati menerapkan program suami siaga. Para suami tak boleh ke mana-mana dua pekan sebelum masa persalinan. Dalam kelas kelas ibu hamil yang dilaksanakannya bersama kader Pos Yandu dan PKK, para suami harus ikut. Sebagai mayoritas buruh kelapa, banyak suami yang lebih memprioritaskan kerja dibandingkan siaga jelang kelahiran bayi.

 

"Ini kami tekankan benar, bahwa untuk proses persalinan, harus suami yang mengantarkan," ujarnya.

 

Sejalan dengan program suami siaga, dilaksanakan juga program ambulans desa. Ambulans desa tidak berbentuk mobil, tapi pompong pengangkut kelapa yang dialihfungsikan sebagai pengangkut pasien. Dengan demikian, pasien tidak perlu menyewa pompong untuk membawa pasien yang melahirkan.

 

Pihaknya selaku bidan desa melakukan perjanjian kerja sama dengan seorang tauke (bos) kebun kelapa yang punya lima pompong. Ada juga pompong milik perorangan lainnya. Setidaknya, saat ini sudah ada tiga unit pompong yang siap dialihfungsikan sewaktu-waktu sebagai ambulans desa.

 

"Keluarga pasien tidak lagi mengeluarkan biaya besar. Cukup bensin saja. Itu pun kita bantu dengan program tabungan dana sehat," ujarnya.

 

Selain tiga program tambahan itu, plus dua program inovasi sebelumnya, berbagai program rutin kebidanan tentu saja tetap dilaksanakannya. Bidan desa tak hanya bertugas membantu kelahiran, tapi semacam petugas medis lengkap, penyuluh kesehatan, dan lainnya. Dia juga membuat kelas balita, selain kelas ibu hamil. Selain itu, dia juga memberikan edukasi kepada pelajar, lansia dan kelompok masyarakat lainnya.

 

Fenomena Dukun Beranak

 

Tidak mudah bagi bidan-bidan desa dalam menjalankan tugasnya, apalagi di daerah terpencil. Sebelumnya, di tempat Rosmiati bertugas, yang membantu kelahiran adalah dukun beranak. Masyarakat pun percaya kepada mereka.

 

Sebagai bidan baru, yang tamat dari Akademi Kebidanan (Akbid) Lenggogeni Padang, 2007, tentu saja Rosmiati agak gamang menjalankan tugas itu seorang diri, mulai 2008. Minim pengalaman, status yang hanya bidan PTT (pegawai tidak tetap), tantangan di lapangan membuatnya makin gamang. Tapi tekadnya untuk mengabdi pada kemanusiaan membuat langkahnya pasti.

 

Awalnya, para dukun bayi tidak menerima kehadirannya di Desa Tunggal Rahayu Jaya. Mereka takut lahannya diambil. Padahal, tidak seperti itu yang digariskan Kementerian Kesehatan. Dukun bayi adalah mitra bagi bidan.

 

"Tapi tetap saja ditolak. Sekitar enam bulan masa penolakan itu," kenang Rosmiati.

 

Masyarakat pun awalnya demikian juga. Mereka lebih memilih mendatangi dukun beranak terlebih dahulu ketika akan melahirkan. Jika ada masalah, baru mereka datang ke bidan. Pelan tapi pasti, Rosmiati bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Sebagai orang asli Inhil, tepatnya di Desa Pengalihan, Kecamatan Keritang, dia mudah melakukan pendekatan. Dia juga tidak canggung dengan kondisi alam yang sulit, karena sudah terbiasa sejak kecil di desanya, yang lebih kurang sama.

 

Pendekatan kemitraan yang diterapkannya pelan-pelan bisa diterima tiga dukun beranak di desa itu. Rosmiati mengikutsertakan mereka dalam pertemuan, membagi tugas ketika membantu kelahiran, dan bentuk kemitraan lainnya.

 

"Alhamdulillah, sekarang bisa bermitra dengan baik," ujarnya.

 

Sebagai bidan PTT, masa pengabdiannya cukup lama. Kontrak PTT-nya diteken untuk tiga tahun dan kemudian diperpanjang. Setelah tiga kali diperpanjang atau sembilan tahun masa pengabdian, dia akhirnya diangkat sebagai PNS pada Maret 2017. Dia pun ditempatkan di Desa Pengalihan Kecamatan Keritang sebagai bidan koordinator hingga saat ini. Baginya, pengabdian harus dilakukan di mana pun, kapan pun, kepada siapa pun, ada atau tidak ada penghargaan.

 

Ketua PKK Indragiri Hilir Zulaikhah Wardan menyebutkan bahwa bidan desa merupakan ujung tombak kesehatan dan kesejahteraan keluarga di pedesaan bersama PKK. Makanya, pihaknya menaruh perhatian besar kepada bidan desa dan PKK ini. Dia berharap terus ada sinergi antara bidan desa dan PKK. Dia mengapresiasi bidan-bidan desa yang berinovasi, termasuk Rosmiati, yang bahkan mendapatkan penghargaan nasional. Dia berharap akan muncul Rosmiati-Rosmiati lainnya untuk mewujudkan Inhil yang semakin baik.

 

Zulaikhah menyadari bahwa kondisi geografis Inhil memang sulit. Infrastruktur masih belum merata. Pemerintah Kabupaten Inhil tetap melakukan pembangunan infratruktur dasar seperti jalan desa dan jembatan antardesa secara masif. Tapi tetap saja belum bisa terpenuhi seluruhnya karena banyaknya parit, sungai, dan desa-desa yang terisolir. Untuk itu, memang diperlukan terobosan. Salah satunya soal transportasi atau ambulans desa.

 

“Pemerintah Kabupaten Inhil sudah mulai juga menganggarkan untuk bantuan transportasi rujukan kesehatan ini,” ujarnya.***

.