Pemuda-Pemuda Peduli Sidat
Media Online https://www.dahliasiregar.com/2019/12/pemuda-pemuda-peduli-sidat.html
Oleh: Dahlia Siregar , Kategori: Umum (https://www.dahliasiregar.com)


“Periuk beras dan asap dapur kami mengepul dari sentruman ini. Kalau kalian datang ingin merubahnya, sama artinya merusak dapur kami. Maka kalian yang akan kami sentrum”
Demikian kata-kata yang diterima Randi beserta dua rekannya saat datang menawarkan kerjasama pada salah satu nelayan ikan sidat di Bengkulu Utara. Kata-kata yang bikin merinding bulu kuduk. Salah sedikit saja merespon kalimat itu, bisa jadi nyawa pun melayang. Untunglah Randi dan kawan-kawannya mampu meredam gejolak emosi nelayan ini hingga keadaan semuanya baik-baik saja.

Adalah hal yang wajar jika emosi tersulut ketika sebuah kebiasaan yang sudah menjadi mata pencaharian ‘diusik’ oleh orang yang tak dikenal sama sekali. Sebab itu Randi dan timnya memaklumi penolakan sang nelayan. Apalagi ini bukan nelayan yang pertama dijajaki. Sudah ada puluhan nelayan sebelumnya melakukan penolakan yang sama, namun akhirnya mereka takluk dengan misi yang dibawa Randi dan rekannya.

                                                                                  *****


Langit mendung menaungi perjalanan saya menemui seorang pemuda di kota Bengkulu ini. Walau sudah mengantongi alamat lengkap lokasi janji ketemuan, tetap saja saya nyasar. Setelah memutar balik, barulah saya menemukan alamat yang dituju. Tampak seorang pemuda berkaca mata telah duduk santai menunggu saya di ruang tunggu pencucian mobil. Ya, kalian tak salah. Saya bertemu dengan pemuda ini di sebuah tempat pencucian mobil. Sebuah tempat janji pertemuan yang tak biasa. Tetapi saya terpaksa bertemu di sini karena waktu pertemuan saya undur yang awalnya sekitar jam 10 pagi bergeser ke pukul 14 siang. Yang mulanya janji bertemu di rumahnya berpindah ke tempat pencucian mobil. Tetapi suasana tempat ketemuan ini tidak lantas membuat esensi pertemuan ini kacau begitu saja. Saya tetap mendapatkan apa yang ingin saya gali. Lagian ini juga baru pertemuan pertama. Akan ada pertemuan kedua untuk menyempurnakan apa yang ingin saya cari.

Randi Anom Putra (kiri)

Ialah Randi Anom Putra, salah satu anggota sekaligus founder Penyuluh Penangkap Ikan Sidat Liar (PPILAR) di kota Raflesia ini. Bersama dua rekannya, Rego dan Akri, mereka terus bergerak membina para pengangkap ikan sidat liar agar melakukan penangkapan dengan cara yang baik dan ramah lingkungan. Sebab fakta di lapangan yang mereka temukan adalah bahwa mayoritas nelayan penangkap sidat ini melakukan penangkapan dengan cara yang praktis, yakni menggunakan alat dan bahan berbahaya berupa potasium dan sentruman.

Sejarah Berdirinya PPILAR


Semua berawal dari niatan Randi melakukan penelitian terhadap ikan sidat guna untuk keperluan skripsinya di tahun 2015. Alumni jurusan Kelautan Perikanan Universitas Bengkulu ini mengangkat judul skirpsi “Pengaruh Hujan dan Tidak Hujan Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Sidat”. Mulailah Randi melakukan survei ke beberapa sungai di Bengkulu. Ternyata potensi sidat sangat banyak, hanya saja pemuda berpostur tinggi ini menyayangkan penangkapan sidat yang sangat tidak ramah lingkungan.  Para nelayan melakukan penangkapan dengan menggunakan alat sentruman dan bahan kimia berbahaya berupa potasium yang membuat ikan sidat mati. Saat Randi bertanya mengapa harus menggunakan kedua alat itu, para nelayan menjawab bahwa cara menangkap yang seperti ini cukup praktis dan mendapatkan hasil yang banyak.

Melihat kenyataan ini, Randi merasa prihatin dengan ekosistem sidat liar tersebut. Sebagai ikan yang cukup langka, maka penangkapan yang memakai sentruman dan potasium ini cukup mengancam ekosistem sidat. Tak hanya itu, ekosistem ikan lain pun terancam punah. Sebab ketika nelayan melakukan penyetruman atau menabur potasium, ikan-ikan yang ada di sekitar pun ikut bermatian. Bahan kimia ini bisa mencemari lingkungan di sekitarnya, pun berbahaya jika hasil tangkapannya dikonsumsi.

Di lain pihak, Randi juga mengetahui bahwa penangkapan yang seperti ini dilarang oleh negara. Sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2009 Tentang Perikanan  pasal 84 bahwa menangkap ikan dengan bahan berbahaya diancam pidana penjara maksimal 6 tahun dan denda maksimal 1,2 miliar.

Karena itulah, Randi mengajak dua rekannya Rego Damantara dan Akri Erfianda yang juga sesama peduli ikan sidat, pemerhati lingkungan dan ekosistem air untuk memberikan arahan kepada para nelayan agar menangkap sidat dilakukan dengan cara yang ramah lingkungan. Akhirnya, di penghujung 2015 mereka bentuklah kelompok kecil yang diberi nama Penyuluh Penangkap Ikan Sidat Liar atau disingkat dengan PPILAR.

Ikan sidat sendiri sudah jamak diketahui merupakan jenis ikan yang memiliki kandungan gizi yang sangat tinggi. Dilansir dari sidatlabas.com menyebutkan bahwa penelitian kedokteran modern menemukan bahwa kandungan vitamin dan mikronutrien dalam ikan sidat sangat tinggi. Demikian juga dengan kandungan Omega 3 (EPA) dan Omega 6 (DHA) yang sangat baik untuk perkembangan otak dan kecerdasan, memperlambat kepikunan dan penuaan, menghilangkan racun tubuh serta mampu mengobati gejala depresi atau penyakit kejiwaan lainnya.

Budi Daya Ikan Sidat
Portur ikan sidat yang mirip sekali dengan ular

Dari segi postur, sidat terlihat sedikit mengerikan karena bentuknya yang panjang serta kepalanya yang menyerupai kobra. Jadi wajar saja jika sebagian orang menyebut sidat ini sebagai ‘ikan ular’. Ianya menjadi sangat mirip dengan hewan melata itu karena pergerakannya yang teramat gesit dan meliuk-liuk. Lebih gesit dari lele dan belut. Kandungan lendir dikulitnya juga sangat banyak sehingga sulit untuk dipegang dalam keadan hidup.
 

Saya sendiri merasa gamang ketika bertemu langsung dengan ikan ini. Pada pertemuan kedua saya dengan  Randi, saya berkesempatan mengunjungi kolam sidat milik pemuda kelahiran tahun 1993 ini di Jl. Bhayangkara, Sidomulyo Kota Bengkulu. Terdapat tiga kolam di sana, dua di antaranya merupakan tempat mensterilkan sidat setelah ditangkap dari habitatnya, yakni sungai, rawa, dan DAS (Daerah Aliran Sungai). Dua kolam itu ditaburi azola yang juga berfungsi sebagai pakan bagi sidat-sidat tersebut. Kenapa mesti disterilkan? Karena sidat sebenarnya hewan pemakan daging, atau bisa disebut kanibal. Jadi ketika hidupnya berpindah, maka ia perlu beradaptasi dengan air kolam dan lainnya. Kalau langsung dimasukkan ke kolam tengah, di mana sidat-sidat milik Randi dibesarkan, bisa-bisa sidatnya berantem lalu saling makan.

“Bukan cuma mindset nelayannya mbak, sidat-sidat ini pun saya ubah mindsetnya dari memakan daging jadi makan pur. Dan itu di lakukan di sini”, ucap Randi tersenyum sambil menunjuk kolam yang penuh dengan azola. Membuat kolam jadi sedap di pandang mata bersebab azolanya bak permadani hijau yang terhampar.

Kolam sidat bertabur azola

Lika-Liku Penyuluhan

Tidak mudah merubah pola pikir seseorang, terlebih ketika pola itu sudah mengakar dalam diri. Sama halnya dengan perjuangan Randi dan rekan-rekannya dalam menghimbau nelayan penangkap sidat untuk merubah cara tangkap dari yang menggunakan sentruman dan potasium menuju penggunaan bubu yang terbuat dari bambu. Tiga nelayan yang sering menangkap sidat di sekitaran Pasar Bengkulu merasa berat dengan wacana yang dibawa para pemuda ini. Bagi mereka, menangkap sidat dengan bubu sangat tidak memungkinkan untuk mendapatkan sidat dalam jumlah yang banyak. Otomatis angka penjualan mereka juga akan menurun.

Tetapi kelompok PPILAR tidak menyerah. Mereka terus meyakinkan para nelayan bahwa dengan menggunakan bubu pun mereka akan tetap memperoleh hasil yang memuaskan. Randi dan duo anggota lainnya menawarkan harga yang menggiurkan. Jika sidat yang selama ini ditangkap terjual sekitar 30 ribu per kilo dan ikan dalam kondisi mati, maka Randi selaku kelompok PPILAR menawarkan untuk membeli sidat-sidat mereka dengan harga 60 ribu per kilonya, dengan syarat ikan sidatnya masih hidup. Nah, satu-satunya cara menangkap sidat agar tetap dalam kondisi hidup adalah menangkapnya dengan bubu. Kelompok PPILAR sendiri yang mensubsidi bubunya, gratis, asal potasium dan alat setruman mereka serahkan ke kelompok ini.

Alat tangkap ramah lingkungan yang ditawarkan PPILAR

Para nelayan tersebut tetap melakukan penolakan. Namun kegigihan pemuda-pemuda ini dalam bernegosiasi akhirnya menaklukkan ego para penangkap sidat itu. Tiga penangkap sidat mau mengubah pola tangkapnya, walau satu di antaranya terkesan masih setengah hati. Di tahap awal ini, Randi meminta hasil tangkapan mereka nanti dikumpulkan di rumah Pak Wahin yang juga merupakan nelayan sidat. Tetapi hasil tangkapan dimasukkan ke dalam ember masing-masing, tidak disatukan. Agar tau siapa yang benar-benar menangkap dengan bubu dan siapa yang tidak.

Nyatalah, saat sidat terkumpul, ada satu ember yang sidatnya hanya bertahan hidup satu hari, lalu mati. Randi meminta sang nelayan untuk jujur. Akhirnya sang nelayan mengaku bahwa bubu yang diberikan belum dipakainya, dia masih melakukan tangkapan dengan cara yang selama ini dilakukan. Ia kemudian dibimbing hingga akhirnya benar-benar berhenti dari sentrum dan potasium dengan menyerahkan alat tangkap itu kepada Randi dan kedua rekannya.

Tak berhenti di situ, kelompok PPILAR melebarkan sayap dengan terus mendatangi nelayan-nelayan sidat guna untuk mengajak nelayan hijrah dari pola tangkap yang berbahaya menuju metode tangkap yang jauh lebih ramah terhadap lingkungan. Penolakan terulang kembali, lalu takluk. Begitu seterusnya hingga nelayan itu sendiri merasakan manfaat yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Dimana saat memakai setrum dan potasium dulu mereka hanya bisa menangkap minimal sekali dalam dua minggu. Karena setelah di setrum, butuh waktu untuk membuat lingkungan dan ekosistem sidat regenerasi kembali.  Namun sejak beralih ke bubu mereka bisa menangkap setiap hari dan jumlah tangkapannya pun lumayan banyak. Harga jual pun menjadi tinggi karena sidat dijual dalam keadaan hidup.

Randi bersama nelayan menyiapkan umpan

Bubu sendiri biasanya dipasang nelayan di lokasi penangkapan sekitar pukul 6 sore, dan diambil kembali esok paginya sekitar pukul 6 juga, lebih cepat dari itu juga malah lebih baik. Usah bingung kenapa penangkapan dilakukan di malam hari. Sebab sidat itu sendiri berkeliaran di sungai tepat saat manusia melepas lelah di punggung tilam. Bubu dipasang dengan mengarahkan moncong bubu sesuai dengan arah arus sungai, agar aroma umpan yang dipasang dalam bubu terbawa bersama arus dan mampu menjangkau cuping hidung sidat.

Teknik memasangnya pun tak sembarangan. Jika bubu ingin dipasang sejajar, maka jarak antara satu bubu dengan yang lainnya minimal 2 meter. Namun jika bubu ingin dipasang zigzag, maka jaraknya boleh 1,5 meter.
 
Cara pemasangan bubu

Saat ini, nelayan yang tergabung dalam kelompok PPILAR ini tidak hanya di Kota Bengkulu. Namun sudah merambah ke nelayan-nelayan di Bengkulu Utara, Seluma, Kaur dan Manna. Ketika menjamah nelayan Bengkulu Utara, Randi dan kawan-kawannya tak melulu mendapatkan penerimaan. Penolakan lagi-lagi terjadi, bahkan kata-katanya sedikit lebih mengerikan, sebagaimana yang saya paparkan di awal tulisan ini.

“Ya sudah, tidak apa-apa kalo bapak belum mau. Cuma bapak harus tetap waspada ya, sebab jika ada razia dan ketahuan menangkap dengan sentruman ini, bapak bisa ditahan pihak berwajib”, ujar Randi menjawab halus penolakan nelayan ini.

Meski sebenarnya Randi kecewa dengan respon demikian, tetapi pemuda ini sadar bahwa untuk mengajak seseorang menuju kebaikan tetaplah dilakukan dengan cara yang santun dan baik pula. Tak perlu ada ancaman, intimidasi dan ikap-sikap negatif lainnya. Sebab mereka percaya bahwa tiada balasan kebaikan melainkan kebaikan pula. Hanya perlu sedikit bersabar saja menunggu waktu. Tentu saja, tetap memaksimalkan ikhtiar.

Tak berselang lama, tersiar kabar seorang nelayan ditangkap polisi karena ketahuan memburu sidat dengan bahan dan alat berbahaya. Nelayan yang tertangkap merupakan teman dari nelayan yang sempat menolak sebelumnya. Akhirnya para nelayan pun mulai tertarik dan mau diajak memakai bubu sekaligus turut membantu melestarikan lingkungan dan ekosistem ikan-ikan di air tawar khususnya ikan sidat.

Menjadi Penerima Satu Indonesia Award

Lelah yang terbayarkan

Di tengah gelora Randi, Rego dan Akri memberi penyuluhan seputar cara menangkap sidat yang ramah lingkungan, datanglah seorang kawan Randi membawa berita bahwa Astra sedang membuka Satu Indonesia Award tahun 2017. Di mana Satu Indonesia Award ini merupakan wujud apresiasi Astra kepada anak muda baik individu maupun kelompok yang memiliki program di bidang kesehatan, pendidikan, ngkungan, kewirausahaan dan teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Temannya itu menyarankan agar mereka daftarkan saja program yang sedang mereka jalankan. Sebab program itu sesuai dengan misi yang diusung Astra.

Setelah dipelajari, Randi dan anggota kelompoknya pun sepakat untuk ikut berkompetisi. Mereka mulai mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk mengikuti penganugrahan itu. Segala daya dan upaya mereka kerahkan untuk bisa memberikan presentasi terbaik di depan tujuh dewan juri ahli. Pun untuk memikat voting publik sebanyak-banyaknya. Usaha dan doa dimaksimalkan.

Akhirnya, setelah menempuh alur yang cukup menegangkan, PPILAR tampil menjadi jawara menyisihkan ratusan peserta lainnya. Terbayarlah segala lelah dan usaha.

Impian Yang Masih Menari

Saat ini, kelompok PPILAR telah memiliki beberapa kolam sidat, walau pun kolam-kolam itu masih belum terisi penuh. Penangkapan ikan sidat pun sudah rutin dilakukan. Terlebih saat musim hujan tiba. Perlu diketahui bahwa kuantitas sidat berbanding lurus dengan derasnya curah hujan. Kolaborasi dan hubungan baik dengan nelayan terus dilakukan. Jika ada yang bertanya, apa keuntungan Randi dan timnya terhadap program ini, sedangkan mereka harus merogoh kocek sendiri untuk mensubsidi bubu bagi nelayan dan mereka pula yang membeli ikan sidat hasil tangkapan nelayan?

 
Kolam ikan milik Randi dan Rego (tim PPILAR)

Keuntungan yang pertama adalah kepuasan batin karena telah turut berkontribusi menjaga alam, melestarikan lingkungan dan mengubah pola pikir masyarakat khususnya para nelayan. Kedua, Randi dan timnya bisa mendapatkan ikan sidat dalam kondisi hidup, sehingga mereka bisa membudidayakan ikan sidat di kolam.

Ke depan, Randi beserta rekannya sedang merancang bagaimana supaya ikan sidat ini bisa menjadi ladang bisnis. Randi pun mulai menjajaki beberapa rumah makan untuk diajak bermitra. Dari beberapa rumah makan, baru rumah makan Padang Guci yang mau bekerja sama. Jadi, bagi warga Kota Bengkulu yang ingin mencoba menikmati olahan ikan sidat, silakan bertandang ke Rumah Makan Padang Guci yang terletak di Jl. Danau.

Transaksi sidat antara Randi dan nelayan

Selain bermitra dengan rumah makan, Randi juga menginginkan agar diri dan kelompoknya memiliki kolam ikan sidat di seluruh wilayah Provinsi Bengkulu. Karena itu mereka terus bergerak ke daerah-daerah yang belum sempat terjamah oleh mereka.

Untuk jangka panjang, impian terbesar Randi adalah mampu menjadikan ikan sidat Bengkulu ini menjadi komoditi ekspor. Meski saat ini masih terlihat jauh panggang dari api, tetapi Randi yakin dan terus berharap agar suatu hari nanti ada yang mensupport khususnya dalam masalah dana untuk mewujudkan mimpi ini. Sukses selalu untuk Randi dan PPILAR. Teruslah bermanfaat bagi sesama.
#KitaSatuIndonesia #IndonesiaBicaraBaik

*Tulisan ini diikutkan dalam lomba Anugrah Pewarta Astra 2019
*Foto merupakan dokumentasi pribadi dan istimewa
 
.