Setetes Harapan di Gersang Gunung Lemongan
Media Online https://www.ayuniverse.com/2019/12/setetes-harapan-di-gersang-gunung.html
Oleh: Qurotul Ayun , Kategori: Umum (https://www.ayuniverse.com)

"Ranu Klakah surut. Debit airnya menurun drastis. Di Gunung Lemongan, ribuan hektare hutan gundul. Menyisakan ilalang dan semak-semak yang gersang di musim kemarau. Tak ada lagi akar pohon yang kuat mencengkeram tanah. Akibatnya, saat musim hujan tiba, banjir dan tanah longsor terjadi di sejumlah wilayah. Tidak, alam tidak sedang marah. Ia hanya menunjukkan sebuah hukum alam. Pembalakan liar selama bertahun-tahun mengakibatkan lahan di sekitar Gunung Lemongan dalam kondisi kritis. Mata air mengering. Krisis ekologi mengancam."
 
Namun, tidak banyak orang yang sadar lalu berhenti menebang hutan lindung dan menanaminya kembali. Adalah A’ak Abdullah Al-Kudus, satu di antara sedikit orang yang peduli. Pria kelahiran Lumajang, 12 Oktober 1974, ini mengajak warga sekitar menanam pohon di Gunung Lemongan. Bersama Laskar Hijau yang didirikannya, ia membawa setetes harapan di gersangnya Gunung Lemongan.

***
Berbekal arahan Google Map, siang itu saya mengikuti jalan beraspal yang membelah Desa Papringan, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang. Di sebuah tikungan, saya berbelok ke jalan setapak yang sedikit berbatu saat Google Map menunjukkan bahwa tujuan saya semakin dekat. Berada di sisi kanan jalan.

Seorang pria menyambut saya. Ia, tak lain adalah Bapak A’ak Abdullah Al-Kudus (45) yang akrab disapa Gus A’ak. Dengan ramah, ia mempersilakan saya masuk ke rumah kepala dusun yang sekaligus menjadi posko pendakian Gunung Lemongan. Di ruang tamu, beberapa orang telah menunggu kami untuk makan siang bersama. Nasi jagung, sayur bening kelor, ikan dan tempe goreng serta sambal terasi tersaji di atas tikar. Sambil makan siang, Gus A’ak memperkenalkan orang-orang tersebut. Mereka akan bekerja sama dengan Laskar Hijau untuk uji coba menanam kapulaga di kawasan Gunung Lemongan.
 
Pos Pendakian Gunung Lemongan
Sebagai komunitas yang secara sah mengelola hutan lindung di Gunung Lemongan, para relawan Laskar Hijau rutin menanam pohon di musim hujan. Sekitar 50% tanamannya adalah bambu yang mampu menyimpan 0,8 kubik air per rumpun agar muncul mata air baru. Sedangkan 50% lainnya adalah buah-buahan.
Pohon nangka sudah berbuah
Semua dilakukan demi menjaga hutan agar tetap lestari. Agar sumber air tetap terjaga, agar muncul mata air baru. Buah-buahan juga ditanam agar hasilnya memberikan manfaat secara ekonomis bagi warga sekitar. Sebab, jika menengok kembali pada tahun-tahun sebelumnya, kondisi hutan yang kritis di lereng Gunung Lemongan membawa dampak yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Pembalakan Liar dan Ancaman Krisis Ekologi
“Awalnya, zaman Gus Dur itu kan ada illegal logging karena kekacauan politik, sampai ya ... bisa dibilang kalau hutan Pulau Jawa ini rata, habis, termasuk Lemongan,” Gus A’ak mengawali cerita, “Dulu yang ngerusak ya warga-warga sini juga, karena nggak ngerti.”

Pada kurun waktu 1998–2002, pembalakan liar atau illegal logging membuat hutan di Pulau Jawa, khususnya di Gunung Lemongan, menjadi lahan kritis yang berdampak buruk pada ekosistem. Berdasarkan data dari Forest Watch Indonesia, selama periode 1990–2001, hutan di Indonesia rusak seluas 2 juta hektare per tahun.
 
Ranu Klakah
Di sekitar Gunung Lemongan, dampak kerusakan hutan terlihat dari menurunnya debit air Ranu Klakah dan ranu-ranu lain di sekitanya dalam kurun waktu yang cukup lama. Berbeda dengan danau lain yang airnya bersumber dari dasar tanah, air ranu bersumber dari samping, dari mata air di Gunung Lemongan. Sehingga, ketika pepohonan di lereng gunung ditebang habis-habisan, air di ranu pun surut karena sumbernya mengering. Padahal, air ranu dibutuhkan warga untuk irigasi dan kebutuhan sehari-hari.
Ranu Pakis
 
Tahun 2005, Gus A’ak bersama warga sekitar merasa tergerak untuk melakukan sesuatu. Ekosistem yang rusak tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Mereka pun mulai melakukan penghijauan di sekitar ranu. Pohon-pohon ditanam. Sampah-sampah dibersihkan. Hingga pada tahun 2008, penghijauan mulai mereka lakukan di Gunung Lemongan, dan menyebut kelompok mereka dengan nama Laskar Hijau.

“Kita sepakat kalau mau nyelametin ranu, yang harus dihijaukan Gunung Lemongan,” tutur Gus A’ak.
Info grafis tentang Laskar Hijau
 Meskipun demikian, bukan hal mudah untuk mengajak banyak orang menyelamatkan lingkungan. Sejak pertama kali Gus A’ak mendirikan Laskar Hijau hingga sekarang, masih ada saja orang yang menentang langkahnya. Pro kontra tetap ada sampai saat ini. Bahkan ia dianggap melakukan hal sia-sia. Namun ia tak peduli. Sebuah langkah harus diambil untuk mencegah krisis ekologi.

“Saya nggak ingin kelak anak cucu mengalami krisis ekologi. Saya nggak ingin mereka kekurangan air.”

Sampai sekarang, hanya 15 relawan yang sehari-hari intens di Laskar Hijau. Mereka adalah warga sekitar Gunung Lemongan. Selebihnya, saat Laskar Hijau mengadakan kegiatan, banyak relawan dari luar kota yang datang dan bergabung dalam kegiatan tersebut. Ketika musim hujan tiba, mereka mulai menanam. Di musim kemarau, mereka merawat tanaman-tanaman tersebut.
 
Pohon di Hutan Lemongan

Banyak Tantangan, Laskar Hijau Tetap Bertahan
“Laskar Hijau ini sudah 10 tahun lebih. Apa tantangannya selama ini?” tanya saya.
Gus A’ak menghela napas berat, lalu menjawab, “Banyak sekali, yang paling berat itu ketika berhadapan dengan masyarakat yang haus atau lapar lahan.”

Masyarakat yang dimaksud oleh Gus A’ak adalah mereka yang membabat dan membakar hutan lindung untuk dijadikan kebun sengon. Masih banyak warga sekitar yang berpikir bahwa menanam sengon akan memberi penghasilan yang tinggi, namun mereka tidak memikirkan dampaknya bagi ekosistem. Untuk itulah, Laskar Hijau berprinsip pohon-pohon yang mereka tanam adalah pohon-pohon yang tidak perlu ditebang.
Bibit buah siap ditanam di Gunung Lemongan
Para relawan mengumpulkan biji buah-buahan. Bahkan tempat sampah menjadi berkah tersendiri. Mereka mengambil biji-biji tersebut dari tempat sampah di pasar, di kampung-kampung, hingga di warung es buah, lalu menyemainya. Laskar Hijau berkomitmen menanam pohon buah-buahan yang bernilai ekonomis agar dapat dimanfaatkan oleh warga sekitar, seperti avokad, sirsak, durian, dan rambutan. Rencananya, kapulaga juga akan ditanam di bawah pohon-pohon tersebut. Langkah ini diharapkan mampu menjawab kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar tanpa harus menebang pohon dan merusak hutan.

Proses edukasi juga terus dilakukan dengan berbagai cara agar masyarakat semakin peduli terhadap lingkungan, tidak hanya mempertimbangkan sisi ekonomi. Meskipun sampai sekarang edukasi yang dilakukan belum menunjukkan hasil sesuai harapan, tetapi Laskar Hijau tetap bertahan. Mereka terus mengedukasi dan mengelola hutan lindung di Gunung Lemongan agar tetap lestari.

Dikepung 200 Orang Bersenjata, Nyawa Taruhannya

Laskar Hijau juga tidak gentar menghadapi teror warga yang diprovokasi. Hal mengerikan yang mengancam nyawa pernah mereka alami saat rumah kepala dusun ini diserbu oleh 200 orang bersenjata celurit. Mereka menyeret-nyeret ibunya kepala dusun. Melampiaskan amarah atas larangan menebang hutan. Meski tak ada korban jiwa, namun kejadian ini menjadi ancaman yang sangat serius. 

Semakin lama, langkah persuasif tidak bisa lagi terus-terusan dilakukan. Mereka yang menentang Laskar Hijau semakin solid demi memenuhi kepentingan golongan. Salah satu warga memprovokasi kelompok tersebut untuk melakukan penyerangan. Ia juga membayar orang untuk membabat serta membakar hutan lindung di Gunung Lemongan. Maka, jalur hukum pun ditempuh. Setelah melalui proses panjang persidangan, palu hakim akhirnya diketuk. Pada 4 September 2018, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lumajang memvonis terdakwa perusak hutan lindung dengan hukuman 8 tahun penjara dan denda 10 miliar rupiah.

“Ini yang paling berat, Mbak, berat sekali,” ujar Gus A’ak, lalu ia menyambung ucapannya, “rasanya masih ngganjel di hati, soalnya di desa, pasti ada omongan, tetangga sendiri kok dipenjara.”
 
Berbicang dengan Gus A'ak
Diakui Gus A’ak, sejak pelaku perusakan hutan dibawa ke meja hijau dan kini dipenjara, warga lain mulai berhati-hati. Mereka tidak lagi melakukan perusakan. Ada efek jera yang timbul dari kejadian ini. Meskipun demikian, masih banyak tantangan yang menunggu di depan.

“Dulu saya pikir, penghijauan itu tugas beratnya menanam, tapi lebih dari itu. Penghijauan nggak sesederhana mencangkul, menanam, menyiram. Ternyata urusannya panjang,” curhatnya.

Konservasi Berbasis Masyarakat
Sekitar dua kilometer dari posko pendakian Gunung Lemongan di rumah kepala dusun, Laskar Hijau mendirikan posko di hutan. Siang menjelang sore itu, kami menuju posko tersebut. Melewati jalan makadam. Membelah jalan setapak di dalam hutan. Sampai di sana, ada beberapa pendaki yang sedang istirahat setelah turun dari Gunung Lemongan.

Selamat datang di Laskar Hijau
 
 
Pohon-pohon tinggi menjulang. Daun-daunnya rimbun. Rumpun bambu tumbuh subur. Bunga-bunga mekar. Cericit burung dan tonggeret beradu bak paduan suara. Kami berjalan dan melihat-lihat di sekitar posko. Tak begitu jauh di seberang kami, seekor kucing hutan bergerak di antara pepohonan sebelum sempat saya abadikan.
 
Bunga liar di hutan
Pepohonan di sekitar posko Laskar Hijau
“Dulu, di sini itu cuma ilalang, Mbak,” jelas Gus A’ak sambil menunjuk sekeliling yang sekarang penuh dengan pepohonan.

Hasil kerja Laskar Hijau selama lebih dari 10 tahun terlihat nyata. Gus A’ak membuktikan bahwa tidak ada langkah baik yang sia-sia. Sesuai dengan namanya, Laskar Hijau berhasil mengembalikan hijaunya hutan di Gunung Lemongan yang dahulu kritis dan gersang akibat pembalakan liar.
 
Gus A'ak di depan posko Laskar Hijau
Seiring dengan perannya dalam mengelola hutan lindung, Laskar Hijau menjadi salah satu konservasi berbasis masyarakat yang sering menjadi tujuan belajar. Banyak mahasiswa dari berbagai kampus atau organisasi pencinta alam yang datang untuk belajar tentang konservasi berbasis masyarakat. Baru-baru ini, Kampung Sinau dari Sidoarjo juga bertandang ke Laskar Hijau untuk belajar.

Menerima Apresiasi SATU Indonesia Awards dari PT Astra Internasional Tbk
Saat pertama kali mendirikan Laskar Hijau, Gus A’ak tidak berpikir bahwa langkahnya akan diapresiasi oleh PT Astra Internasional Tbk melalui SATU Indonesia Awards. Semua ia lakukan bersama para relawan secara swadaya yang murni bertujuan menyelamatkan lingkungan. Bahkan ia menyebut langkah ini sebagai komitmen seumur hidup.

“Waktu itu saya nggak tahu apa-apa. Tiba-tiba ada telepon dari Jakarta, saya diminta datang ke sana untuk menerima penghargaan,” kenangnya.
 
 
 
 

sumber: satu-indonesia.com
Gus A’ak adalah salah satu penerima SATU Indonesia Awards pertama tahun 2010 di bidang lingkungan. Saat itu, Astra bekerja sama dengan Tempo untuk “menyelidiki” sosok-sosok inspiratif yang layak menerima apresiasi SATU Indonesia Awards. Beberapa hari sebelumnya, wartawan Tempo memang bertandang ke Laskar Hijau, namun tidak melakukan wawancara. Hanya ngobrol santai saja.

Sebagai sebuah perusahaan, sejak awal Astra bercita-cita untuk sejahtera bersama bangsa. Demi mewujudkan cita-cita tersebut, Astra terus berkontribusi mendorong pertumbuhan Indonesia yang berkesinambungan. Melalui Public Contribution Roadmap yang menjadi pilar penyangga, Astra berupaya mencapai visinya untuk menjadi perusahaan yang memiliki tanggung jawab sosial serta peduli lingkungan.

Bahkan belum lama ini, PT Astra Honda Motor (AHM) meresmikan Astra Honda Pranaraksa Center yang diawali dengan program konservasi keanekaragaman buah langka nusantara. Dikutip dari gooto.com, GM Corporate Communication AHM, Ahmad Muhibuddin mengatakan, pengembangan Astra Honda Pranaraksa Center memiliki tiga tujuan untuk pelestarian lingkungan, yaitu penghijauan lahan tandus, perlindungan keanekaragaman hayati, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.  
       
Empat Pilar Astra
Program-program Astra sebagai bentuk tanggung jawab sosial berpedoman pada 4 pilar corporate social responsibility (CSR). Keempat pilar tersebut adalah pilar pendidikan, pilar kewirausahaan, pilar lingkungan, dan pilar kesehatan.

Sesuai dengan pilar lingkungan, Gus A’ak sebagai pegiat konservasi berbasis masyarakat menerima SATU Indonesia Awards pada tahun 2010. Hadiah yang ia terima dari penghargaan tersebut digunakan untuk membangun posko Laskar Hijau di kaki Gunung Lemongan. Ia menunjukkan bahwa siapa pun sebenarnya bisa ikut serta dan berperan dalam pelestarian lingkungan. Tidak harus mereka yang berlatar pendidikan teknik lingkungan, kehutanan, atau tergabung dalam organisasi pencinta alam.

“Saya aja SMA nggak lulus, Mbak. Dulu sempat sekolah di Nurul Jadid tapi nggak selesai, hehehe....” Ia terkekeh saat menceritakan pendidikan formalnya.

Meski tanpa latar belakang pendidikan teknik lingkungan atau kehutanan, namun semangat Gus A’ak bersama Laskar Hijau mampu menjadi inspirasi bagi siapa pun. Kebaikan itu memang menular. Buktinya, kini Laskar Hijau memiliki cabang di Probolinggo, Jember, Banyuwangi, Sumenep, dan Malang. Gus A’ak juga menegaskan untuk tidak bosan-bosannya menanam.
 

“Menanamlah walau hanya satu pohon, walau hanya sekali seumur hidup,” pungkasnya menutup obrolan kami sore itu. 

Tak salah memang jika Astra memberi apresiasi SATU Indonesia Awards kepada sosok yang juga aktif di GUSDURian Peduli ini. Langkah baiknya kini melahirkan banyak kebaikan lain. Dan bersama Astra, semoga panjang umur hal-hal baik. Senantiasa!  
#KitaSATUIndonesia #IndonesiaBicaraBaik

*Tulisan ini diikutsertakan dalam Anugerah Pewarta Astra 2019
 
.