Cerita Batik Gedangsari, Pernah Mati Suri Kini Kembali Berseri
Media Online https://krjogja.com/web/news/read/118447/Cerita_Batik_Gedangsari_Pernah_Mati_Suri_Kini_Kembali_Berseri
Oleh: Agung Purwandono , Kategori: Wartawan (KRjogja.com)

 

Salah satu pekerja di usaha batik Nada Collection, Tegalrejo, Gedangsari tengah mengangin-anginkan batik pesanan. (Agung P)


SUKAMTI (40)
menunjuk tanaman yang ia sebut dengan nama pohon jolawe di belakang rumahnya. Tingginya masih belum ada satu meter. Aslinya, pohon ini akan tumbuh menjulang tinggi. Bahkan, kata orang-orang di desanya, pohon ini tergolong ‘angker’.

Namun, bagi Sukamti, tanaman ini justru bermanfaat karena bisa menjadi bahan untuk batik warna alam yang ia buat.  Sukamti tidak hanya menunjukan pohon ‘angker’ itu saja, tangannya lincah menunjuk pohon nangka yang menjulang tinggi.

“Sengaja saya biarkan rimbun dan tinggi, saya butuh kulitnya untuk dapat warna kuning,” kata Sukamti di rumahnya, Dusun Trembono, Desa Tegalrejo, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul, Selasa (31/12/2019).

 

Bukan hanya pohon nangka yang ia tunjuk, ada pohon mahoni yang terkelupas kulitnya di sana-sini karena ia ambil untuk bahan warna alam. Juga tanaman indigofera. “Sebenarnya banyak tanaman-tanaman disini yang jadi bahan, ada pace, ubi jalar, jati, daun mangga dan lainnya,” kata Sukamti yang hobi memadu padankan berbagai jenis tanaman untuk menghasilkan warna tertentu.

Sukamti menunjukan bibit pohon jolawe yang ia persiapkan untuk bahan warna alam (Agung P)

Awalnya Gedangsari Hanya Dikenal Sebagai Sentra Perajin Batik

Batik khas Gedangsari di masa lalu memang tidak begitu dikenal. Hal ini karena di Gedangsari dikenalnya sebagai sentra perajin batik saja. Meraka tidak menjual batik buatan mereka sendiri, sebagian besar menjadi buruh batik di Bayat, Kabupaten Klaten.

Mulai muncul pembatik-pembatik yang mendirikan usaha terutama pascagempa, saat Pemda DIY gencar melakukan pelatihan-pelatihan membatik.

Bersama suaminya, Sihono (46) dan putrinya, Nada Liliyani (22), Sukamti juga tergolong belum lama menekuni usaha batik di Gedangsari. Baru tahun 2011 ia serius menekuni batik, khususnya warna alam dengan mendirikan usaha Nada Collection.

“Kalau membatiknya saya sudah bisa sejak kelas 2 SD, tapi, disini kan rata-rata hanya jadi buruh batik di Bayat Klaten. Sejak nenek moyang, Gedangsari memang terkenal dengan pembatik, tapi sebagai buruh, bukan yang punya usaha,” jelas Sukamti.

Diakuinya, ia mulai merintis usaha batik setelah anaknya, Nada bersekolah di SMK jurusan batik. Dari situ, ia yang semula berjualan sayur beralih fokus pada usaha batik.

Kini setiap hari ia memiliki pekerja tetap sekitar 10 orang, sedangkan pembatik lain yang mengerjakan di rumah bisa melibatkan hingga 30 orang. Harga batik tulisnya beragam. Ada yang seharga puluhan ribu hingga jutaan rupiah.

Semua tergantung ukuran, bahan, dan motif batik yang dikerjakan. Batik-batik itu ia jual dengan cara offline maupun online.

Sukamti, saat ini fokus membuat batik warna alam. Salah satu kelebihn batik warna alam adalah limbahnya yang ramah lingkungan. “Kalau batik warna alam, limbahnya malah bisa untuk pupuk tanaman di kebun,” kata Sukamti.

Meski baru di tahun 2011 menekuni usaha batik, Sukamti mengakui kaget dengan pencapaiannya.  “Hasilnya saya tidak bisa membayangkan seperti ini, memang banyak lika-liku yang saya lewati sebagai UKM. Termasuk soal modal. Dengan dikenalnya Gedangsari sebagai sentra batik warna alam, itu sangat membantu kami,” kata Sukamti.

Sukamti, mengakui salah satu yang mendorong Gedangsari saat ini berkembang batik warna alamnya adalah kekompakan perajin-perajin batiknya. Meski terbagi dalam kelompok-kelompok pembatik, namun semua saling membantu.

Misalnya jika ada pemilik usaha yang kesulitan dengan banyaknya pesanan, dialihkan ke perajin lain. Begitu juga dalam hal pemasaran, tidak jarang, pengusaha batik ikut menjualkan produk perajin lain.

Untuk mencapai pada posisi ini, Sukamti sangat berterimakasih dengan Pemda DIY yang terus melakukan pendampingan melalui pelatihan maupun ajakan berpameran. Pun begitu peran swasta yang membranding daerah Gedangsari sehingga dikenal sebagai sentra batik warna alam.

Warga Gedangsari tengah membatik, sejak dulu, penduduk di Gedangsari dikenal sebagai pembatik yang tekun. (Agung P)

Salah satu perintis usaha membatik di Tegalrejo, Gedangsari adalah Surono (42) yang karena kepiawiannya mendalang, Surono juga dikenal dengan nama Surono Dalang. “Saya termasuk yang mengawali usaha batik di Tegalrejo, Gedangsari. Dulu memang dikenalnya Gedangsari hanya buruh batik di Bayat,” kata Surono, pemilik usaha Batik Kalimasada, Tegalrejo, Gedangsari.

Surono mulai merintis batik di Tegalrejo tahun 2000. Namun, masih sebatas pada batik kayu. Baru di tahun 2007 setelah ada pelatihan dari Balai Batik Yogyakarta pascagempa, ia mulai jualan batik kain.

Menurut Surono kalau ada orang bilang batik Gedangsari mati suri, itu karena memang orang-orang di Gedangsari tidak ada yang menjadikan batik sebagai usaha. Penduduk di Gedangsari memang jago membatik, namun hanya sebagai buruh.

“Kalau soal keahlian membatik, orang-orang di Gedangsari itu dari sananya memang sudah bisa membatik. Saya sendiri SMP, pulang sekolah sudah mbatik di rumah orang di Bayat,” kata Surono.

Bayat, yang dimaksud oleh Surono adalah Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Nama batik Bayat Klaten memang lebih dikenal dibanding batik Gedangsari.

Menurut Surono, keahlian membatik, diturunkan dari keluarganya yang juga mendapat ilmu membatik dari nenek moyang mereka. Ia mengakui, pelatihan terus menerus dari dinas-dinas  seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi DIY maupun Gunungkidul serta dari Balai Besar Kerajinan dan Batik sangat membantu.

Pelatihan berkesinambungan itu, bukan hanya memperkuat aspek teknis dalam membatik namun juga dari sisi menajemen.

Ditanya tentang peran Yayasan Astra di Gedangsari, Surono Dalang melihat peran itu lebih banyak ditunjukan ke dunia pendidikan. Ia melihat dukungan Astra yang diberikan lewat SMKN 2 Gedangsari membuat anak-anak muda lulusan SMK bukan hanya bisa membatik namun juga bisa menjualnya. Sesuatu yang sejak dulu pembatik dari Gedangsari sulit melakukannya.

Besar harapannya ada peran lebih dari program-program Astra yang menyentuh langsung ke UMKM batik, bukan hanya dunia pendidikan saja.

Pembatik lain yang merasakan berkah dari makin dikenalnya Gedangsari sebagai sentra batik adalah Wagiyem (52) warga Dusun Tanjung, Tegalrejo Gedangsari. Ketika KRjogja.com bertandang ke rumahnya, wajahnya sedang berseri-seri.

“Saya sedang tidak membatik, sedang istirahat dulu, kemarin baru menyelesaikan pesanan 175 potong kain batik tulis untuk UGM,” kata Wagiyem tersenyum senang. Dengan harga per potongnya mencapai ratusan ribu rupiah, pantas saja Wagiyem berseri-seri.

Untuk menyelesaikan pesanan tersebut, ia membutuhkan waktu 4 bulan. Pemesan ternyata tidak keberatan dengan waktu yang ia sanggupi. Maka ia kemudian melibatkan tetangga-tetangga di kampungnya yang memang sudah piawai membatik untuk menyelesaikan pesanannya.

Wagiyem, tergolong pembatik tulen dari Tegalrejo Gedangsari. Sejak kecil, membatik adalah kesehariannya.  Sampai dua tahun yang lalu, ia masih membatik untuk pengusaha batik di daerah Bayat. Sampai kemudian, anak keduanya Suryanti (25) mendirikan usaha batik bernama Rokechi.

Anak keduanya memang sejak SMK menekuni jurusan batik. Bahkan kuliah di Institut Seni Indonesia Yogyakarta juga menekuni kriya tekstil. Wagiyem menyadari banyak anak-anak muda di desanya lebih memilih kerja di pabrik dibanding mendirikan usaha batik. Namun, ia mendukung keinginan kuat anaknya untuk mendirikan usaha batik.

Dari usaha batik yang ditekuni anaknya, Wagiyem merasakan sendiri bagaimana kemudian mendapatkan berkah dari keberadaan Kampung Berseri Astra di Desa Tegalrejo. “Kalau soal membatik itu kami jago, tapi jualan itu yang kami sulit,” kata Wagiyem mengakui.

Misalnya saja dengan adanya tamu yang dibawa oleh rekanan Astra ke Tegalrejo, ternyata mereka kemudian tertarik membeli. Selain itu ada juga program pelatihan membatik bagi wisatawan atau tamu yang dibawa pihak Astra maupun pihak lainnya.

“Ada tamu dari Jepang, Australia, Qatar juga ada. Kami senang kalau ada tamu yang datang, mereka suka dengan batik-batik warna alam dari Gedangsari,” kata Wagiyem.

Suryanti mengamini apa yang disampaikan oleh ibunya. Ia yang merupakan pegiat di KBA Tegalarejo untuk pilar kewirausahaan batik mengatakan orang-orang luar negeri memang suka dengan batik warna alam yang ramah terhadap lingkungan.

“Saat ini yang sedang kita galakan untuk KBA Tegalrejo lebih ke pilar kewirausahaan batik melalui paket wisata batik,” kata Suryanti.

Salah satu cita-citanya ke depan, selain mengenalkan desain-desain khas Gedangsari, ia yang lulusan ISI Yogyakarta ingin membuat desain yang memadukan desain kontemporer dengan ciri khas dari Gedangsari. “Tentunya cita-cita saya Gedangsari bisa maju karena batiknya,” kata Suryanti.


Wagiyem menunjukan batik khas Gedangsari buatannya (Agung P)

Gedangsari, Daerah Miskin di Yogya yang Berupaya Sejahtera dari Batik

Menurut analisa data dari Pemda DIY dan Badan Pusat Statistik  (BPS) di Kabupaten Gunungkidul masih terdapat 3 kecamatan dari sebanyak 18 kecamatan yang ada, masuk dalam kategori miskin. Ketiga kecamatan tersebut yakni Kecamatan Saptosari, Tanjungsari dan Gedangsari.

Dari ketiga wilayah, Kecamatan Saptosari tercatat sebagai daerah dengan tingkat kesejahteraan yang rendah yakni dengan status kesejahteraan penduduknya hanya 67,47 persen. Kemudian disusul oleh kecamatan Tanjungsari dan Gedangsari.

Pemda DIY sendiri sudah melakukan langkah-langkah penanggulangan kemiskinan di ketiga wilayah tersebut termasuk di Gedangsari.

Bahkan Raja Keraton Yogyakarta  yang juga Gubernur DIY Sri Sultan HB X pada Agustus 2017 menobatkan Desa Tegalrejo di Kecamatan Gedangsari sebagai Rintisan Desa Wisata Budaya. Saat itu ia mengatakan, Kecamatan Gedangsari di Gunungkidul akan menjadi model bagaimana potensi desa wisata dipadukan dengan potensi budaya bisa menjadi pusat pertumbungan ekonomi.

Di tahun 2018 sendiri Yayasan Pendidikan Astra Michael D Ruslim (YPA-MDR) mencanangkan Desa Tegalrejo, Gedangsari sebagai bagian dari Kampung Berseri Astra.

Namun, sejatinya, keterlibatan YPA MDR jauh sebelum dicanangkannya KBA Tegalrejo, Gedangsari. Tercatat, perintisan Gedangsari sebagai sentra batik dilakukan sejak tahun 2007. Hal itu diwujudkan dengan pembinaan bagi 6 SD, 1 SMP, dan 1 SMK di Gedangsari.

Di tahun 2014, YPA MDR memulai pembangunan SMKN 2 Gedangsari yang fokus pada batik. Bangunan tersebut diresmikan setahun setelahnya, oleh Menteri Pendidikan yang saat itu dijabat oleh Anies Baswedan. Sultan HB X saat itu menyatakan Gedangsari sebagai sentra batik di DIY dan SMKN 2 Gedangsari sebagai motornya.

Head of CSR, PT Astra International, Muhammad Taufan, di Desa Tegalrejo, Kecamatan Gedangsari, Gunungkidul saat forum Kampung Berseri Astra se-Jawa di Tegalrejo, Gedangsari, Maret 2019 mengatakan ada empat sektor yang digarap yaitu meliputi pendidikan, kesehatan, kewirausahaan dan lingkungan. Keempat pilar program tersebut saling berkaitan dan terintegrasi satu sama lainnya.

Program tersebut menurutnya memang tidak lantas langsung bisa berjalan begitu saja. Ada proses yang memang harus dilakukan. Di bidang pendidikan, anak-anak di Tegalrejo sudah dikenalkan pada kesehatan masyarakat. Juga anak-anak dari tingkat PAUD hingga jenjang SMK dikenalkan pada kerajinan batik.

Untuk mendukung Gedangsari yang memiliki branding sebagai sentra batik warna alam, Astra membantu dalam bentuk konservasi untuk tanaman pewarna alami . Dengan begitu maka akan bisa menunjang industri batik warna alam yang dijalankan masyarakat.

Selain itu, guna membantu meningkatkan pelestarian batik warna alam, Astra juga menyiapkan fasilitas laboratorium mini zat pewarna alam di SMKN 2 Gedangsari yang bertujuan untuk menjadi tempat pelatihan para siswa dan masyarakat/UKM Batik belajar tentang zat warna alam.

Astra juga berupaya mengenalkan produk-produk batik khas Gedangsari dengan menggandeng desainer-desainer untuk melakukan fashion show. Seperti yang pernah dilakukan melalui acara “Pagelaran Busana Pertama di Wanajati” yang merupakan pagelaran busana pertama di Indonesia di tengah hutan jati.

Pagelaran busana ini juga memperlihatkan keunggulan batik yang ada di Desa Tegalrejo, Kecamatan Gedangsari, Gunungkidul, dan menghadirkan 90 looks yang merupakan karya dari berbagai desainer Indonesia Fashion Chamber (IFC) seperti Lia Mustafa, Dany Paraswati, Phillip Iswardono, Ratih Kristiani, Amin Hendra, dan Dandy T. Hidayat yang berkolaborasi dengan siswa SMKN 2 Gedangsari.

Kini, Gedangsari yang semula hanya dikenal sebagai orang-orang yang bekerja membuat batik, kini sudah bisa mencipta motif khas Gedangsari. Tercatat beberapa motif batik khas Gedangsari yaitu Ratuning Gedangsari, batik dengan motif buat Srikaya.

Batik motif Ratuning Gedangsari II, batik dengan motif pohon pisang.  Batik motif Pring Sedapur dengan motif bambu serta batik tulis motif Sekaring Gedangsari (motivasi untuk melestarikan keasrian alam). Batik-batik tersebut mengangkat potensi alam yang banyak ditemukan di Gedangsari.

Pada akhirnya hasil yang diinginkan selain kesejahtaraan masyarakat meningkat, kualitas hidup masyarakat yang lebih baik. Maka ke depan diharapkan tidak ada lagi cerita Gedangsari sebagai daerah miskin, namun, kampung dengan wajah penduduknya yang berseri-seri. (Agung Purwandono)

.