Hikayat si Tutus, sang Lintang Kemukus
Media Online https://ranggapoetra.wordpress.com/2019/12/31/hikayat-si-tutus-sang-lintang-kemukus/
Oleh: Rangga Putra , Kategori: Umum (https://ranggapoetra.wordpress.com/)

Hikayat si Tutus, sang Lintang Kemukus

Prolog

1988
Surabaya Tempo Dulu

Pada suatu pagi yang cerah, tampak seekor burung rajawali melayang mengerat udara di angkasa Kota Surabaya. Seakan tak lelah, ia hanya mengawang lingkar tanpa sekali pun mengepak sayap. Mata yang bengis memicing bak tengah mengincar. Sesekali, ia melengking tajam laksana sedang mengungkap lara.

Jauh di bawahnya, angin sepoi-sepoi menggoyang batang-daun pepohonan. Di sekelilingnya, gedung-gedung agung berdiri tegap menjulang. Sejauh mata memandang hanya tampak hamparan hutan beton khas metropolitan. Semakin jauh ke pelosoknya, terdengar hiruk-pikuk kota tua yang genit. Pemandangan ini membuat sang surya tersipu seringainya.

Di suatu sudut perdukuhan, sekelompok murid sekolah dasar tampak tengah bermain riang sambil menunggu masuk kelas. Layaknya sekolah pada umumnya, bagian halamannya dijejali tawa riang, suka cita khas anak-anak sebelum lonceng berdentang. Di sana, terlihat bocah laki-laki kelas 2 SD yang paling aktif. Wajahnya yang oval, dibingkai rambut lurus tipis dibelah pinggir. Tubuhnya yang ceking dibalut kulit berwarna sawo matang. Walau masih berusia delapan tahun, tapi dia sudah lincah berlarian.

Seperti pada umumnya gedung sekolahan bergaya lawas, terpasang pilar-pilar kokoh di setiap bagian depan ruangan. Di sekililingnya, ubin tegel kusam ciri khas masa lampau terpasang dengan rapi. Tanaman toga pun tumbuh subur di halaman.

Bocah satu ini memang gemar berlarian. Bahkan, dia adalah yang berlari paling kencang. Namun, pagi itu bakal menjadi terang terakhirnya, sebelum gelap berkuasa. Pada suatu kesempatan bermain polisi-maling, giliran sang bocah yang dikejar. Namun nahas, saking gembiranya, dia sampai tak menyadari ada pilar tembok bertumpu di hadapannya.

"Duk!" terbenturlah dahinya.

Untuk sesaat, dia tidak merasa sakit, tetapi ketakutan. Namun sejurus kemudian, pandangannya mulai berwarna kemerahan.

Sementara itu, seekor tikus mendadak muncul di tengah hamparan hijau-kuning ilalang. Ia tengah berburu biji-bijian. Namun, ia sadar maut tengah mengincarnya dari awang-awang. Tikus itu lantas semburat mencari tempat persembunyian. Tapi terlambat, cakar-cakar hitam tajam telah menembus tubuhnya. Ia mencoba melawan. Decitannya pun membahana. Namun sang rajawali tak gentar. Darah segar pun terpercik di tanah basah. Suara decitannya tak terdengar lagi.

 

Bagian I

Ibu

"Ibu," ucap seorang pria paruh baya. "Beliau yang paling mendukung saya."

Kamis (26/12/2019), di ruang guru Sekolah Menengah Pertama A Yayasan Pendidikan Anak-anak Buta (SMPLB-A YPAB) di Jalan Gebang Putih No. 5, pria itu rupanya tengah mengenang masa-masa lampau yang sulit. Di meja kerjanya, terpampang plakat nama bertuliskan Tutus Setiawan.

Semilir angin yang menembus jendela, menyibak rambut pendeknya yang disisir belah pinggir. Hari itu sepi lantaran libur panjang Natal dan Tahun Baru. Semua murid diliburkan. Namun, Tutus tidak terbiasa berpangku tangan. Dia memutuskan untuk datang ke sekolah. Ruang guru berukuran 6 x 9 meter ini menjadi saksi, bahwa bocah yang berlari kencang 30 tahun yang lalu itu kini telah dewasa. Hanya saja, sekarang dia buta. Insiden terbentur pilar, tiga dekade yang lalu, menjadi penyebabnya.

Tutus Setiawan sendiri lahir dari rahim ibunya dengan kondisi normal di Surabaya, 6 September 1980. Sekarang, dia berusia 39 tahun. Menurut penuturannya, sejak insiden kecelakaan itu, hidup sang bocah tidak lagi sama. Semuanya berbalik arah. Dari gembira menjadi lara. Anak itu jadi pemurung, pendiam sekaligus antisosial.

Menurut dokter, Tutus menderita ablasi retina alias lepasnya lapisan tipis di dalam mata. Selama lima bulan pascainsiden terbentur pilar tembok itu, kedua bola mata bocah itu sebetulnya sempat bisa kembali berfungsi, setelah bolak-balik operasi. Namun, beberapa waktu kemudian, timbul gejala kemerahan dan lama-lama kembali gelap gulita, hingga akhirnya Tutus kecil divonis buta permanen.

Bagi Tutus, keluarga adalah segalanya. Mereka tetap mendukung Tutus dengan segala keterbatasan.Memang, hati orangtua mana yang tak pilu mengetahui buah hatinya cacat? Tak terkecuali orangtua Tutus. Sang ibu, sambung Tutus, mengatakan kalau menjadi disabilitas bukan berarti akhir segalanya.

Seperti yang diucapkan Tutus, adalah sang ibu, Sriyuwati, 62, yang paling berjasa. Beliau, sambungnya, tidak kenal lelah menyemangati hari-hari putranya. Sriyuwati adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Sementara sang ayahanda Ridwan Suprapto, 63, menafkahi keluarganya dengan bekerja sebagai sopir. Tutus sendiri merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Menurut Tutus, sejak kecil cita-citanya adalah menjadi seorang pendidik layaknya guru. Namun, sejak indera penglihatannya lenyap, Tutus kecil khawatir dia tidak dapat mewujudkan hasratnya sebagai seorang suhu.

“Ibu yang memaksa saya untuk tetap bersekolah. Saya malu ketika itu. Lantas, ibu mengatakan kalau saya harus tetap bersyukur. Ibu mengatakan kalau di SDLB itu banyak anak seperti saya, tapi mereka tetap bersemangat untuk melangkah maju,” tambahnya.

Akhirnya, Tutus menyerah juga dengan bujukan sang ibunda. Dia pun ikut mendaftar ke SDLB di sekitar rumah mereka di daerah Demak, Surabaya. Dari ujung telinganya, Tutus kecil mendengar gelak tawa yang lepas dan apa adanya. Tutus memang tidak bisa melihat. Namun gelak tawa itu membuat bulu kuduknya tegak berdiri. Itu adalah gelak tawa peserta didik SDLB. Bocah delapan tahun itu seperti menemukan semangat baru, untuk yang pertama kali dalam hidupnya.

Menurut Tutus, awal mula menjadi murid SDLB adalah hal yang sulit. Betapa tidak? Tutus kecil harus kembali ke kelas 1 untuk mengulangi pelajaran dari dasar, versi pendidikan luar biasa. Selain itu, dia juga harus melatih kepekaan indera-inderanya yang tersisa sekaligus belajar huruf braille. Masa-masa babat alas itu cukup berat untuk dijalani. Soalnya, Tutus kehilangan penglihatan tidak sedari lahir, tetapi ketika dia sudah terbiasa melihat.

“Kalau di rumah, ibu yang membimbing saya,” tutur Tutus kalem.

Pada masa ini, sang nenek juga tak kalah berjasanya. Pasalnya, sang neneklah yang mengantar Tutus bersekolah di SDLB sehari-hari. “Nenek yang sehari-hari mengantar ke sekolah. Beliau menunggui saya sampai waktu pulang sekolah. Begitu terus sampai lulus SD(LB),” tutur Tutus.

Beranjak remaja, Tutus bertekad untuk mandiri. Sejak SMPLB kelas 1 segalanya dia lakukan sendiri. Berangkat-pulang sekolah pun solo, naik angkot. Rupanya, upaya itu bukannya perkara mudah. Pernah beberapa kali Tutus terperosok got, terbentur tembok, tersesat dan lain sebagainya. Tutus sekaligus keluarganya lantas jadi bahan omongan tetangga. Banyak yang mengatakan kalau orangtua Tutus tidak bertanggungjawab dengan membiarkan anaknya yang tunanetra, berusaha sendirian.

Rasan-rasan tetangga itu akhirnya sampai juga ke telinga orangtua Tutus. Mengetahui ini, orangtua Tutus menjadi sedih sekaligus marah. Mereka pun menawari Tutus untuk antar-jemput. Bukan Tutus namanya kalau menyerah.

"’Biarkan saja’, kata saya kepada orangtua. Mereka itu tidak malah membantu, malah mencibir,” tukas Tutus.

Orang tua Tutus pun tidak berdaya dengan tekad putranya yang sudah paripurna.

Di SMPLB ini, Tutus dibekali keterampilan memijat. Sesekali dia mempraktikkan keterampilannya itu dengan memijat sang ibu. Sriyuwati adalah pelita bagi Tutus kecil. Beliau selalu membacakan buku-buku pelajaran bagi sang putra. Selain itu, Sriyuwati merekamnya dengan kaset supaya bisa diputar ulang oleh Tutus.

“Saya ingin terus membahagiakan orangtua, sekaligus membagikan suka cita kepada sesama,” tutur Tutus mantap.

Bab II

Solidaritas Komplotan

Selepas SMP pada tahun 1997, Tutus berniat melanjutkan sekolahnya ke jenjang SMA. Hanya saja ketika itu, tidak ada satu pun sekolah yang bersedia membuka pintu belajar bagi Tutus. Permintaan ibu Tutus sendiri selalu ditolak oleh pihak sekolah ketika mendaftarkan Tutus ke sekolah negeri. Setiap sekolah yang dituju, selalu beralasan tidak punya cukup fasilitas dan guru untuk mengurus Tutus.

Pada tahun 1997 itu, gejala diskrimasi dan belas kasihan semakin gencar mulai dirasakan Tutus. Bukannya patah arang, Tutus malah berkobar jiwanya. Murka mengetahui hal ini, Tutus lantas nekad untuk ikut mendaftar ke sekolah berikutnya. Ketika itu, adalah SMA Kemala Bhayangkari II yang bakal menjadi sasaran amuk Tutus.

Lagi-lagi, Tutus ditolak untuk menimba ilmu di sana. Namun, Tutus yang beranjak remaja itu menantang dirinya sindiri di hadapan sang kepala sekolah. Dia mengajukan syarat, apabila tidak mampu mengikuti proses belajar mengajar normal di bangku SMA Kemala Bhayangkari II selama satu tahun, dia bakal angkat kaki sendiri.

“Saya bilang ke kepala sekolah, kalau saya tidak mampu, Bapak kepala sekolah tidak perlu mengeluarkan saya, saya yang akan keluar sendiri,” kisah Tutus.

Rupanya, ultimatum Tutus membuat keder sang kepala sekolah hingga bersedia menerimanya menjadi salah satu peserta didik.

SMA Kemala Bhayangkari 2 Surabaya masa kini. | Facebook/ SMAKemalaBhayangkari2.Sby

Sepeti halnya belajar di SDLB, mula-mula mengikuti pelajaran SMA itu sangat sulit. Pasalnya, tidak ada buku-buku braille yang tersedia. Buku-buku braille bagi anak sekolahan hanya tersedia hingga level SMPLB. Di samping itu, karena momen bersekolah di SMA reguler ini menjadi yang pertama kali bagi Tutus, dia hampir tidak punya teman. Dia sempat canggung dan merasa aneh sendiri.

“Saya sebetulnya punya teman satu, epilepsi pula,” cetus Tutus. “Namanya Eko. Kami berdua selalu dapat dispensasi untuk tidak ikut upacara bendara setiap hari Senin,” tambahnya sambil tersenyum licik.

Tidak ada nada pilu dalam tutur katanya. Semuanya mengalir lepas, tanpa beban. Sepertinya, Tutus sudah menerima dengan ikhlas kondisinya. Hanya saja, belajar versi sekolah normal juga bukan hal yang sepele. Tidak tersedianya buku-buku pelajaran dalam huruf braille menjadi salah satu batu sandungan. Namun, Tutus tidak kurang akal.

Demi membuktikan diri kalau siswa tunanetra bisa mengukir prestasi yang sama dengan siswa normal, Tutus remaja mulai melancarkan taktik bersosialisasinya. Dia memanfaatkan kondisi yang dialaminya untuk menarik simpati. Tutus bahkan memberi layanan pijat yang dipelajarinya di SMPLB secara gratis kepada teman-temannya. Lalu, dia juga mengajari konco-konconya huruf braille, yang kelihatannya menarik bagi anak SMA, waktu itu.

Teman sejawat Tutus secara perlahan mulai menerimanya sebagai bagian dari kawanan. Mereka pun mulai mengajak Tutus untuk membolos. Bahkan pernah suatu ketika, Tutus ikut memanjat pagar sekolah untuk ‘kabur’.

"Ya dibantu teman-teman tho!," sergah Tutus, "mana bisa saya manjat sendiri?"

Keesokan harinya, Tutus dan komplotannya dipanggil ke ruang guru. Pada era ’90-an, dipanggil ke ruang guru itu artinya menghadap guru BK. Ketika itu, guru BK adalah jenis guru killer yang paling killer. Jadi, dipanggil guru hal yang menakutkan bagi anak SMA se-nusantara, sebandel apapun mereka, tak terkecuali Tutus yang tunanetra.

Tutus pun mengatakan alasan sebenarnya. Bahwa dia sengaja turut serta membolos lantaran ingin dianggap sebagai bagian dari komplotan. Dengan begitu, teman-temannya bersedia membantunya belajar. Soalnya, selain sang ibu, tidak ada yang bisa membantu Tutus menggali ilmu. Mengetahui alasan ini, Tutus pun dilepaskan dari segala tuntutan. Dia bebas murni.

"Yang lainnya dihukum. Cuma saya yang bebas, hehehe," ucap Tutus lagi-lagi dengan senyum tersungging.

Di samping kejujuran Tutus yang sangaja ingin berinteraksi secara normal, prestasi akademisnya juga menjadi bukti yang meringkankan. “Saya tidak pernah terlempar dari empat besar, rangking terus!”

Memang, teman-teman Tutus sangat mendukung proses belajarnya di sekolah. Betapa tidak? Komplotan Tutus bersedia membacakan catatan-catatan yang ditulis guru di papan tulis, hingga meminjamkan buku-buku catatan. Di rumah, giliran sang ibu yang membacakan, merekam dan memutar rekaman.

Tak hanya itu, setiap kali ada ulangan, Tutus menjadi ujung tombak bagi komplotannya. Pasalnya, dia yang paling mumpuni. Bahkan, teman-teman Tutus berebut duduk di sebelahnya. Ini tandanya Tutus telah diterima menjadi inner circle alias orang dalam. Teman-teman  Tutus tidak lagi menganggapnya aneh. Kalau sedang ujian, komplotan ini punya siasat tersendiri. Karena Tutus tidak bisa membaca soal, maka teman Tutus-lah yang membacakan soal. Kemudian, Tutus menuliskan jawabannya. Jawaban inilah yang lantas beredar luas hingga ke kolong kelas.

“Trik itu lantas ketahuan juga. Lalu, soal ulangan dibuat kanan-kiri. Namanya juga anak-anak, kami tak kurang akal. Saya minta sebangku dengan yang nulisnya cepat. Jadi, saya mengerjakan dua soal,” tutur Tutus bangga.

Hingga masa akhir bersekolah di SMA Kemala Bhayangkari II pada tahun 2000, Tutus lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Bahkan, dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan studinya ke jenjang perguruan tinggi. Cita-citanya menjadi seorang suhu tampaknya masih terbuka untuk dikejar.

“Saya sebetulnya tidak butuh nilai. Yang saya perlukan adalah cuma sekedar bisa mengikuti pelajaran saja,” tambahnya.

Ponselnya lantas berdering.

“Halo,” jawab Tutus. “Permisi ya Mas?”

Hening…

"Wes jarno mudun gak popo, engkok lak munggah maneh,” cetus Tutus.

Hening

"Aku wingi buy pas open 1.540,” ungkap Tutus.

Trader pro!
Tutus saat menunjukkan listing saham di IHSG. | Dokpri.

“Maaf, Mas, sampek mana tadi?”

 

Bab III

Cikal Bakal

Beasiswa yang diterima Tutus rupanya dimanfaatkannya dengan baik. Dia bertekad untuk terus menimba ilmu hingga ke perguruan tinggi demi menggapai cita-citanya. Tutus remaja akhirnya memilih jurusan S1 Pendidikan Luar Biasa di Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Berinteraksi di lingkungan intelektual menambah tebal idealisme sekaligus solidaritas Tutus.

Karena beasiswa hanya mengkover biaya administrasi pendidikan saja, maka Tutus harus memutar otaknya lagi untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Selain itu, dia tidak lagi menumpang angkot. Tutus lebih memilih untuk tinggal di asrama mahasiswa. Sebagai konsekuensinya, dia harus benar-benar mandiri.

Akhirnya, Tutus membuka jasa pijat di asrama tempat dia tinggal, hari Senin-Jumat. Karena usaha jasa pijatnya terpercaya, Tutus mampu menutup biaya fotokopi literatur dan sejumlah kebutuhan lainnya secara mandiri.

"Teman-teman dan dosen jadi langganan saya," cetusnya.

Pernah pada suatu hari, Tutus tengah berjalan di tempat umum. Bak disambar geledek, dia kaget tiba-tiba ada yang menyalaminya. Tutus merasa ada yang mengganjal di balik telapak tangan kanannya. Ketika dia genggam dan merasakan lebih intim, rupanya ganjalan itu berwujud uang koin Rp100. Tutus pun sedih.

“Ngelus hati ini,” tuturnya.
Kampus Pendidikan Luar Biasa Unesa, tempat Tutus menimba ilmu. | Facebook/PLB Universitas Negeri Surabaya

Di sana, Tutus selalu meraih IPK di atas 3,00.

Sejak dewasa hingga menapaki bangku perguruan tinggi, aura kasihan dari orang-orang terus menghantui Tutus. Dia gusar. Tutus sudah tidak lagi tahan dengan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Bergejolaklah kalbunya. Tutus pun memutuskan untuk ikut sebagai anggota salah satu ormas penyandang disabilitas di Kota Surabaya. Hanya saja, selama Tutus menjadi aktivis pembela disabilitas, ide progresif Tutus tidak mendapat ruang di tempatnya bernaung.

"Ide-ide saya seperti menggelar seminar hingga membagikan brosur, ditolak," ungkap Tutus. "Mungkin karena saya masih junior waktu itu," tambahnya sambil terkekeh. “Oh iya, sering kali dibilang kalau tidak ada dananya.”

Tutus pun tidak bisa berbuat banyak untuk membela sesamanya. Diskriminasi masih menjadi momok bagi kaum disabilitas. Pemerintah, sambung Tutus, ditudingnya menjadi salah satu biang keladi. Soalnya, pada masa itu pemerintah hanya membangun gedung-gedung sekolah bagi penyandang disabilitas hingga tingkat menengah pertama (SMPLB) saja. Selebihnya, nihil.

“Ini seperti sudah tersistem. Tunanetra itu kalau tidak jadi tukang pijat, ya main musik. Dari pemerintahnya sudah begitu, mau bagaimana tunanetra berkembang ke bidang lainnya? Bukankah itu diskriminatif karena dibatasi?” tukas Tutus berapi-api.

Merasa gagasan-gagasannya tidak dapat tereksekusi, dia pun nekad mendirikan lembaga pembela penyandang disabilitas sendiri. Pada tahun 2003, bersama sembilan mahasiswa Unesa lainnya, Tutus mengibarkan bendera Perhimpunan Braille Muda Surabaya (PBMS). Pada awalnya, Tutus dan kawan-kawan merekrut voluntir-voluntir yang punya kepedulian terhadap penyadang disabilitas.

Pada tahun 2004, Tutus mentas dari UNESA dengan predikat cumlaude. Titel sarjana pendidikan (S. Pd) pun resmi disandangnya. Dari sini, Tutus bisa lebih fokus memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas, khususnya tunanetra

BAB IV

Lahirnya LPT

Setelah lulus kuliah, Tutus punya kekhawatiran yang sama dengan jutaan lulusan perguruan tinggi lainnya, yaitu sulitnya mendapatkan pekerjaan. Apalagi, Tutus berstatus tunanetra. Kesempatan meniti karir sebagai guru rupanya masih harus ditunda. Namun, Tutus bersabar.

Setahun menganggur dan hanya mengurus PBMS, nasib baik lantas mendatangi Tutus. Buah kesabarannya terbayar. Pada tahun 2005, Pemerintah RI membuka lowongan sebagai guru bantu non-PNS. Syaratnya, pernah menjadi guru bantu selama dua tahun berturut-turut. Mengetahui ini, Tutus segera meminta surat ke tempat dia menimba ilmu di SMPLB-nya dulu. Surat pun diterbitkan. Tutus pun melamar dan diterima.

Di SMPLB itu saya bertemu istri saya.

Guru juga ?

Bukan, dia murid saya.

Jago kandang !

Sebagai seorang guru bantu honorer, Tutus semakin kaya pengetahuan dan pengalaman. Walau begitu, dia tidak melupakan PBMS, organisasi pembela kaum disabilitas yang dia dirikan. Demi lebih berkibar, pada tahun 2006 PBMS diubah namanya dalam nomenklatur menjadi Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT). Adalah simbol api yang dicomot LPT sebagai logo utama. Lalu pada tanggal 21 April 2007, terbitlah akta notarisnya.

Mengapa diubah nomenklaturnya?

"Karena kami kan tidak selamanya muda."

Kepengurusan kan bisa berganti?

 "Mengkader rupanya perkara yang sulit."

Mengapa api?

"Karena kami ingin membakar diskriminasi!"
Logo LPT

Sejak diubahnya nama PBMS menjadi LPT, Tutus dan kawan-kawan menjadi lebih intens membela hak-hak kaum disabilitas. Walau tak ditopang pendanaan dari negara maupun swasta ketika itu, mereka mulai merumuskan visi-misi dan mengeksekusi program kerja secara mandiri dari kantong pribadi.

Secara umum, kata Tutus, LPT bergerak dengan ditopang tiga pilar utama yaitu, advokasi, edukasi dan riset.

Advokasi, sambung Tutus, adalah membela hak-hak kaum disabilitas yang tidak mendapat tempat di ruang publik. Sebagai contoh, pendidikan. Menurut undang-undang, pendidikan adalah wajib bagi setiap anak bangsa, tidak terkecuali penyandang disabilitas. Itu artinya, penyandang disabilitas juga punya hak mengakses pendidikan yang sama dengan non-disabilitas.
LPT Surabaya saat menuntut perda disabilitas direvisi, beberapa waktu lalu. | Bangsaonline.

"Kalau ada yang ditolak masuk sekolah karena disable, lapor ke kami. Kami akan upayakan supaya anak tersebut bisa sekolah. Pernah pada suatu waktu, ada anak disable yang ditolak bersekolah di sekolah negeri. Kami advokasi hingga ke kepala dinas pendidikan (Surabaya). Akhirnya, anak itu bisa diterima sekolah. Yang ruwet itu bawahannya, padahal atasannya mendukung," ungkap Tutus.

Edukasi sendiri tak kalah pentingnya. Menurut Tutus, edukasi ini bisa berarti edukasi ke si penyandang disabilitas itu sendiri, dan edukasi ke lingkungan. Pasalnya, selain edukasi formal dan tetek bengeknya itu, edukasi lingkungan dalam keluarga adalah faktor penting supaya penyandang disabilitas itu berdaya. Orangtua, sambung Tutus, harus percaya bahwa anaknya itu mampu menghadapi masa depan. Caranya, dengan mendukungnya untuk mandiri.

"Biasanya orangtua itu kasihan dengan anak mereka yang disable. Jadi, anaknya hanya dikurung dalam rumah saja. Apa-apa dibantu. Tidak juga diajak menerima kondisi diri hingga bersosialisasi membuka diri. Sudah disable, malah di-disable-kan sendiri oleh orangtuanya. Sang anak malah jadi terbelakang," omong Tutus panjang lebar.

"Padahal, di luaran sana banyak penyandang disabilitas yang bisa mandiri, berhasil dan diterima masyarakat," tambahnya.

Di samping edukasi formal belajar diktat pelajaran, LPT juga mengedukasi penyandang tunanetra supaya melek teknologi dan perkembangan zaman. Para voluntir LPT membimbing para penyandang tunanetra dengan pelatihan-pelatihan semisal komputer, jurnalistik, operator telepon, dan MC. Semua itu dieksekusi demi mendongkrak kapasitas individu tunanetra.
Piagam penghargaan dari Wali Kota Surabaya Trirismaharini. | Istimewa.

Bertepatan dengan Hari Pahlawan, 10 November 2011, LPT yang didirikan oleh Tutus dan kawan-kawan ini diganjar penghargaan oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sebagai lembaga yang aktif berperan serta dalam memberikan pelatihan komputer kepada tunanetra.

Sementara itu, pilar riset dari LPT juga menjadi salah satu faktor identifikasi. Hasil-hasil penelitian mereka juga kerap mengungkap bahwa diskriminasi masih terjadi. Bahwa upaya-upaya mengeliminasi diskriminasi pun masih setengah hati.

LPT, lanjut Tutus, pernah  mengajukan draf peraturan daerah (perda) pendidikan inklusi di Kota Surabaya. Hanya saja, upaya itu bak gayung tapi tak bersambut. Bahkan hingga tiga kali draf pendidikan inklusi itu diajukan, tiga kali itu pula tetap tidak digubris oleh Pemkot Surabaya.

"Surabaya belum punya perda pendidikan inklusi. Selain itu, kota ini juga tidak punya SLB negeri," ungkap Tutus.

Dalam draf tersebut, sejatinya LPT berniat menyampaikan usulan-usulan demi pengelolaan pendidikan inklusi yang baik di Kota Pahlawan. Misalnya, jumlah sekolah inklusi yang harus ditambah. Lalu, jumlah guru pendamping khusus (GPK) yang juga perlu ditingkatkan.

"Jangan cuma satu dua sekolah saja yang inklusi, kasihan yang rumahnya jauh. Selain itu, GPK juga harus ditambah. Idealnya, satu GPK mendampingi lima peserta didik berkebutuhan khusus. Yang terjadi sekarang, satu banding 30 hingga satu banding 60,” papar Tutus.

Lalu bagaimana kalau mereka para GPK tidak masuk?

“Ya, muridnya (yang disabilitas) diliburkan,” sahut Tutus.

Tutus Setiawan saat mengajar peserta didik di SMPLB-A YPAB Surabaya. | Istimewa

Selain itu, menurut Tutus, gadget dan gaya hidup adalah dua mata pisau yang mengancam masa depan anak bangsa. Dulu, tutur Tutus, penyandang disabilitas dekat dengan masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah. Belakangan, sambungnya lagi, masyarakat menengah ke atas pun mulai marak.

"Itu akibat bermain game, ponsel, terus menerus terpapar radiasi. Selain itu pola makan yang tidak sehat juga menjadi pemicu disabilitas. Oleh sebab itu, bukan kurikulum maupun menterinya yang diganti, tapi pendidikan itu sendiri," ungkap Tutus.

Tiga program utama ini bak trisula yang menjadi senjata LPT. Mereka secara konsisten mengeksekusinya.

https://www.youtube.com/watch?v=UtyZgtJ0dJA&feature=youtu.be

Sementara itu, sekitar tahun 2007, gelombang protes guru bantu yang menuntut diangkat jadi PNS mulai gencar. Mula-mula, Tutus tak berniat ikut campur. Namun karena didorong rasa solidaritasnya, dia pun ikut-ikutan turun ke jalan.

"Kemudian teman-teman guru bantu protes ke Menpan untuk diangkat jadi PNS. Kami turun aksi waktu itu. Urunan, rapat-rapat dan lain sebagainya,   kisah Tutus.

Aksi masa guru bantu waktu itu akhirnya membuat keder juga Kemenpan RI. Pada tahun 2008, Tutus dan rekan sejawatnya pun diangkat jadi PNS. Cita-citanya yang ingin menjadi seorang guru, kala itu resmi terwujud. Satu per satu mimpi Tutus kecil, mulai terkabul.

Walau telah menjadi PNS, semangat Tutus menimba ilmu tak lantas padam. Bahkan semakin menyala-nyala. Dia lalu mengikuti tes beasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dan diterima. Sialnya, sponsor beasiswanya mundur, sehingga batal.

Tutus Setiawan bareng saat istri saat wisuda kelulusan S2 Pendidikan Luar Biasa di Unesa. | Istimewa

Lagi-lagi, kesempatan mendatangi Tutus. Pada tahun 2013, Kemendikbud RI membuka beasiswa untuk S2 Pendidikan Luar Biasa. Dari ratusan pendaftar yang mayoritas adalah peserta umum, Tutus termasuk salah satu dari 27 yang diterima. Pada tahun 2015, Tutus lulus S2 Pendidikan Luar Biasa di UNESA dengan predikat cumlaude!

Bab V

Telepon Misterius

Pada suatu hari di tahun 2013, Tutus menerima telepon dari salah satu korporasi media massa kesohor se-nusantara. Lawan bicara Tutus waktu itu, bertanya mengenai LPT yang dia dirikan bareng teman-temannya. Menurut Tutus, wawancara waktu itu layaknya survei. Setelah itu, tidak ada kabar kelanjutannya.

Tutus pun kembali beraktivitas seperti biasanya. Dia mengira, kalau percakapan via telepon itu adalah wawancara dengan media seperti biasa.

Setahun kemudian, tepatnya tahun 2014, ponsel Tutus kembali berdering. Rupanya, korporasi media yang sama kembali menghubungi Tutus. Mereka, lagi-lagi bertanya soal LPT, Tutus dan gerak-geriknya melawan kezaliman diskriminasi. Seperti yang sebelumnya, sambungan telepon itu tidak ada tindak lanjutnya.

Tutus pun kembali beraktivitas seperti biasanya. Dia tidak berharap apa-apa. Dia tetap mengira, kalau percakapan itu adalah interview yang lumrah.

Lalu, pada suatu hari yang indah di tahun 2015, lagi-lagi ponsel Tutus berbunyi. Di layar, terdapat nama yang familiar. Nama itu adalah nama yang sama yang menghubungi Tutus setiap tahun dalam dua tahun belakangan. Dan ini adalah panggilan yang ketiga. Hanya saja, kali ini berbeda.

Orang di ujung sambungan telepon memberitahu kalau Tutus masuk 50 besar penghargaan nasional. Beberapa lama kemudian, orang yang sama kembali menghubungi Tutus sembari menyampikan, nama Tutus lolos ke 20 besar. Lalu, beberapa waktu berselang, orang yang sama lagi-lagi menginformasikan, nama Tutus masuk 12 besar. Pada kesempatan yang terakhir, orang tersebut mengundang Tutus karena berhasil menjadi salah satu dari enam sosok pemenang SATU Indonesia Awards 2015. Ternyata, kiprah Tutus masuk radar korporasi otomotif raksasa Astra International. 

https://www.youtube.com/watch?v=ogKLcqeK7lo

“Lho, beneran serius ta ini?” tanya Tutus mengulangi responnya, kala itu. “Lha wong saya ini tidak pernah kepikiran atau berharap penghargaan.”

Epilog

Tutus

Keesokan hari, Tutus tampak tengah merawat burung-burung merpati di rumahnya di Jalan Karah Gang 5C/15, Surabaya. Tutus tidak sekedar memelihara, tetapi sudah menjadi hobi. Terlebih, merpati-merpati Tutus pernah menyabet prestasi dalam beberapa lomba. Ini artinya, dedikasinya untuk burung merpati telah menjadi candu.

Namun, candu sebenarnya bagi Tutus adalah sang istri yaitu Deasy Trisilawati (29). Sebagai istri, Deasy mendukung penuh gerakan berantas diskriminasi yang dikobarkan suaminya itu. Bahkan Deasy rela menjadi salah satu pengurus LPT. Selain berbagi kasih, pasangan tunanetra ini kompak menyebarkan pelita bagi sesamanya.

Pasangan Tutus Setiawan dan Deasy Trisilawati. | Istimewa

Selepas menengok merpati-merpatinya itu, Tutus lantas bermain dengan putra-putranya. Dari hasil pernikahan pasangan Tutus dan Deasy, mereka dikaruniai tiga orang putra yang sehat paripurna. Mereka antara lain Raditya Rafi Maheswari (6), Abdullah Zidane Paradisa (4), dan Dewanto Alfarisi (3).

Zidane?

“Saya ini gila bola, Mas. Hehehe,” cetus Tutus bersemangat. “Kalau klub luar saya tifosi Juventus, Juventini! La Vecchia Signora! Saya suka (Zinedine) Zidane dan (Alessandro) Del Piero. Kalau klub lokal jelas Persebaya,”

Bagaimana seorang tunanetra meyaksikan jalannya pertandingan yang disampaikan dalam bahasa Inggris?

“Saya cuma mengikuti beritanya saja. Kalau pertandingan Liga Indonesia, dengar langsung dari radio,” tutur Tutus.

Rupanya, Tutus layaknya Wong Suroboyo kebanyakan. Namun, dia bukan sembarang Bonek, melainkan Bonek sejati. Pernah suatu waktu, Tutus nekad beberapa kali ke Stadion Gelora 10 November untuk mendukung klub kesayangannya berlaga.

“Dulu pernah saya mbonek dukung langsung Persebaya, ketika itu masih di Stadion Gelora 10 November (sekarang homebase Persebaya pindah ke Gelora Bung Tomo),” ungkap Tutus. “Saya sambil bawa radio!”

Orang buta menyaksikan pertandingan sepakbola di stadion sambil bawa radio?

“Saya juga ingin merasakan suasananya, atmosfirnya itu lho,” celetuknya lantas terbahak sendiri.

Sesekali dia melihat ponselnya yang buatan Korea Selatan untuk mengikuti fluktuasi harga pasar saham. Sudah enam bulan lamanya Tutus bertahan di bidang perdagangan berjangka ini. Malah modal awalnya kian berlipat lantaran strategi jual-belinya yang jitu.

“Saya kan tidak bisa membaca analisa-analisa karena tidak ada yang versi braille. Jadi, saya belajarnya lewat YouTube,” ungkap Tutus.

Memang, Tutus kini menjadi tulang punggung keluarganya. Sejak sang ayahanda kecelakaan dan menderita hilang ingatan, praktis kebutuhan sehari-hari ditanggung Tutus. Soalnya, Tutus-lah yang paling berhasil di antara tiga saudaranya.

“Gaji PNS tidak cukup, Mas,” tutur Tutus. “Oleh sebab itu, saya juga harus punya usaha. Selain ikut pasar modal, saya juga berdagang alat-alat bantu tunanetra.”

Rupanya, Tutus tidaklah berbeda dengan manusia normal kebanyakan. Dia juga terdiri dari kulit dan daging. Tutus juga merasakan cinta kasih, punya hobi memelihara burung dan punya klub sepakbola favorit dan berdagang. Bahkan Tutus sebetulnya lebih bernilai dari mayoritas manusia yang berjalan di muka bumi.

Pasalnya, tekad, tahan banting dan daya juangnya yang tak pernah luntur. Malah, semakin hari tekad itu semakin berkobar-kobar saja. Tutus adalah kepala keluarga, pendidik, pengusaha, penghobi burung dan sepakbola sekaligus.

“Kalau tiga puluh tahun yang lalu ibu tidak memaksa saya sekolah, mungkin saya sekarang hanya jadi tukang pijat biasa,” tutur Tutus.

 

#KitaSatuIndonesia #IndonesiaBicaraBaik

 

 

 

 

 

 

 

 

 

.