Millenials Penatah Wayang dari Dukuh Butuh
Media Online https://www.gatra.com/rubrik/budaya/seni/370783-Millenials-Penatah-Wayang-dari-Dukuh-Butuh
Oleh: Arif Koes Hernawan , 24 December 2018Kategori: Wartawan (gatra.com)

Klaten, Gatra.com– Sebuah desa di Klaten, Jawa Tengah, menjadi sentra pembuatan wayang kulit yang digemari dalang dan kolektor. Melestarikan budaya dan menjanjikan secara ekonomi, tapi sayangnya mengalami krisis generasi. 

Tatapan Bintang Pratama, 10  tahun, fokus ke satu titik. Tangan kanannya erat memegang palu yang terbuat dari tanduk sapi. Sementara tangan kirinya menggenggam tatah yang menghujam ke satu titik itu. Bocah kelas lima sekolah dasar itu dengan mantap dan tenang memukulkan palu ke tatah. 

Secara berulang-ulang, satu demi satu, hantaman palu dan tatahan Bintang membentuk pola tertentu. Sejak pagi sampai tengah hari itu, ia baru menyelesaikan bagian kepala. "Harus pelan-pelan," kata dia sambil tak lepas menatap karyanya itu; wujud  sesosok berhidung besar nan lucu dari dunia pewayangan, Si Gareng.

Bintang adalah penatah wayang kulit termuda di Dukuh Butuh, Sidowarno, Wonosari, Klaten. Ia generasi ketiga dari salah satu keluarga penatah di kampung itu. Setidaknya ada 75 orang penatah wayang kulit di desa yang berada sekitar 11 kilometer arah selatan Kota Solo, atau28 kilometer dari pusat kabupaten Klaten, tersebut.

Ia belajar menatah wayang sejak setahun silam. Kuncinya, kata dia, harus fokus dan telaten. Dia telah mampu menyelesaikan berbagaikerajinan berbahan kulit sebagai hiasan. Untuk wayang kulit, dia membantu sebagian pengerjaan wayang oleh keluarganya sepulang sekolah.

Selama menatah, Bintang harus betah berjam-jam duduk sambil menekuni karyanya. Selayaknya anak-anak, Bintang kerap pula tergoda meninggalkan aktivitasnya itu.  “Biasanya pas teman-teman main ke sini. Kalau ndak diajak main, godaannya ya mainan gagdet,” kata dia seraya tertawa, saat ditemui Gatra.com di rumahnya di Dusun Butuh, Sabtu (8/12). 

Adapun Bintang penatah wayang termuda di keluarganya. Siang itu, ia membantu pengerjaan wayang oleh kakek, nenek, dan pamannya. Kakeknya Saiman, 55 tahun, spesialis menatah wayang. Sementara neneknya, Sri Asih, 51 tahun, piawai menyungging atau menghias  wayang kulit. 

Saiman adalah generasi kedua perajin wayang di Dusun Butuh. Ia belajar dari seorang penatah wayang asal Kabupaten Wonogiri yang tinggal di desa tetangga di Kabupaten Sukoharjo.

Adapun Sri belajar mewarnai wayang selulus SD selama satu  tahun. Jumlah perajin wayang lebih sedikit lagi, hanya empat orang di desa itu. “Untuk belajar saya harus menyeberang sungai besar. Harus sabar dan telaten. Kalo enggak, enggak jadi,” ujar Sri.

Saiman dan Sri memiliki tiga putra: dua orang pernah belajar menatah, meski tak menjadikannya profesi dan mata pencarian. Jejak Saiman sebagai penatah wayang kini diikuti anak bungsunya, Pendi Istakanudin, 28 tahun.

“Generasi pertama penatah wayang di sini sekitar tahun 1955. Bapak mulai jadi penatah wayang sekitar tahun 1970-an,” kata Pendi menerangkan riwayat keluarganya menekuni kerajinan itu.

Kakek Pendi bukan seorang penatah wayang. Tapi profesinya masih berkaitan dengan warisan budaya khas Indonesia itu. Ia seorang pengerok kulit kerbau atau sapi yang menjadi bahan utama wayang kulit. 

Pengerokan kulit menjadi langkah pertama pembuatan wayang kulit.  Di Dukuh Butuh, produksi wayang berlangsung dari hulu hingga hilir. Tiap tahap memerlukan waktu yang tak sedikit. Setelah dikerok selama empat hari, kulit kerbau direndam beberapa hari, lalu dipotong sesuai ukuran wayang. “Kulit satu ekor kerbau bisa dibuat untuk 5-10 wayang,” kata dia. 

Sehabis itu, kulit direndam lagi supaya lembut, lalu dibentangkan sekencang mungkin dan  dijemur 3-4 hari. Setelah kering, kulit digambar sesuai mal atau pola wayang. Kemudian baru ditatah. Proses tatah dilanjutkan sungging sebagai tahap akhir.

Lama pembuatan wayang kulit bervariasi, tergantung ukuran wayang, kualitas bahan, tingkat kerumitan pengerjaan, dan ornamennya. Pendi dan keluarganya mampu menuntaskan paling cepat  3-4 hari untuk wayang alit atau wayang kulit ukuran kecil. “Namun rata-rata dua minggu sampai satu bulan. Semua tergantung kualitas,” kata dia.

Setiap hasil tatah dan sunggingan wayang berbeda antara satu perajin dengan perajin lain. “Setiap tangan hasilnya beda. Tatahan bisa dirasakan dan dibedakan seperti lukisan. Karena ini buatan tangan, bukan mesin. Ini warisan leluhur. Tidak bisa dipatenkan. Kalau dipatenkan, kasihan (perajin) yang lain. Leluhur penciptanya saja nggak mematenkan.”

Pendi dan keluarganya menerima pesanan tokoh wayang secara spesifik.  Yang jelas, wayang buatan mereka, seperti karya para penatah Dukuh Butuh, adalah wayang khusus pedalangan. Wayang ini dimainkan dalang dalam pentas pergelaran wayang kulit dan berbeda dengan wayang untuk cinderamata atau hiasan.   

“Kualitasnya paling bagus. Beberapa wayang seperti Bima bahkan cepat rusak karena sering untuk geprukan (duel atau tabrakan) di adegan pertempuran. Dari 400-an (karakter) wayang, kami bisa bikin semua,” tutur Pendi. 

Harga wayang buatan keluarga Saiman bervariasi tergantung kualitas bahan dan detail pengerjaaan serta ukurannya.  Kisarannya dari Rp 400 ribu hingga Rp5  juta. Harga tertinggi ini biasanya untuk wayang berukuran besar yakni untuk karakter raksasa.

Namun ada juga wayang ukuran kecil atau standard memiliki harga tinggi. Pendi menunjukkan wayang Arjuna berukuran biasa yang berwarna kekuningan dan disebut seharga ini Rp1,7 juta –Rp2 juta. “Harganya jadi  mahal karena mengandung emas,” ujarnya.

Wayang karya keluarga Saiman memiliki penggemar khusus. Setidaknya ada 10 dalang dan kolektor yang berlangganan memesan dan mengoleksi karya Saiman sekeluarga. Mereka berasal dari Solo, Semarang, Blitar  Ngawi, Ponorogo, dan Jakarta.

Ada pula dari  kampus Institut Seni Indonesia, Solo, yang memiliki program studi wayang dan dalang.  “Karakter dalang itu biasanya menyatu dengan wayang. Cocok-cocokan. Wayang karya kami dianggap cocok. Jadi mereka memesan di sini. Kami sampai kewalahan,” katanya. 

Sigit Wardoyo, dalang dari Pemalang, Jawa Tengah,  salah satu pelanggan wayang kulit buatan Saiman dan keluarganya. “Kualitas bahan kulit dan garapan wayangnya bagus, “ kata pria yang menjadi dalang sejak 2005 ini saat dihubungi Gatra.com.

Potensi Kesenian Menjaga Kearifan Budaya Lokal

Sigit mengetahui produk wayang Saiman melalui Facebook pada 2012. Sejak itu, ia rutin memesan wayang hingga sesuai kebutuhannya mendalang. Pesanan dikerjakan rata-rata selama satu bulan. “Terakhir saya memesan wayang Setyaki,” kata dia.

Potensi itulah yang membuat desa ini dikembangkan sebagai salah satu Kampung Berseri Astra. “Dukuh Butuh mempunyai potensi kesenian dalam menjaga kearifan budaya lokal yaitu melestarikan pembuatan wayang kulit,”kata pendamping program di desa ini, Wahyu Triyono dari Astra.

Untuk mengangkat potensi itu, UMKM lokal dikembangkan melalui sistem padat karya. Mereka memproduksi cenderamata berbasis wayang kulit sebagai gantungan kunci dan suvenir pernikahan. “Artinya masyarakat seperti ibu-ibu dana anak-anak sekolah pun bisa belajar dan mendapatkan penghasilan,” ujar Wahyu.

Sebagai langkah awal program ini, gapura sebagai ikon Kampung Berseri Astra akan didirikan di desa. Selain pihak swasta,  pemerintahan kabupetan Klaten juga telah mengenalkan potensi desa ini lewat sejumlah pameran. Desa ini juga memiliki Kelompok Usaha Bersama atau KUBE Bima yang kuat. Ke depan, ada upaya branding sebagai desa wisata.

Dengan peran semua pihak itu, Saiman dan keluarganya berharap kerajinan pembuatan wayang tetap lestari. Generasi muda pun tertarik  belajar membuat wayang. Sebab selama ini jumlah peminat wayang dan pembuatnya tidak imbang. Sekolah pedalangan terus meluluskan dalang. Penggemar wayang pun terus muncul.

Namun, sebaliknya, pembuat wayang makin berkurang.  “Kami ingin perajin mengajari anaknya supaya penatah ada generasi penerusnya. Mengajari anak kecil, seperti cucu saya itu, jangan berhenti dan harus telaten,” kata Saiman.

Nilai Ekonomi Pendapatan Melebihi UMR

Nah nilai ekonomi pembuatan wayang ini terbilang tinggi. “Secara ekonomi, hasilnya lumayan daripada UMR (upah minimum regional). Ekonomi tertinggal itu tergantung orangnya. Kalau kreatif, kebutuhan bisa dipenuhi,” tukas Saiman.

Namun, Pendi menjelaskan, ada beberapa hal yang membuat profesi perajin wayang ditinggalkan generasi ‘milenial’. Pertama, dianggap tidak memiliki prestise. Kedua, serbuan industri yang menawarkan pendapatan secara instan, seperti dialami Desa Sidowarno yang tak jauh dari kawasan industri dan jasa Solo Baru.

Ketiga, ada pandangan orang tua yang khawatir, jika belajar membuat wayang anak-anak  mereka kehilangan masa kecil bahkan meninggalkan pendidikan. “Membuat wayang  harus ada investasi waktu,” kata Pendi.

Berbagai kekhawatiran ini ditepis oleh pengalaman keluarga Saiman sendiri.  Ketiga anaknya yang belajar membuat wayang mampu menuntaskan kuliah. Pendi, yang menjadi penatah wayang termuda di desa itu, belajar membuat wayang sejak SMP saban pulang sekolah.

Toh, meski kini jadi penatah wayang profesional, ia mampu meraih gelar sarjana di bidang komputer. “Tidak ada ilmu yang tidak terpakai. Sekarang ilmu saya berguna untuk pemasaran wayang, misalnya di media sosial,”  kata dia.

Dengan memanfaatkan dunia maya dan media digital, pesanan wayang untuk keluarga Saiman sudah penuh dan antri sampai tiga bulan mendatang. Sejumlah pesanan cenderamata kulit pun telah berdatangan.

Setelah generasi Saiman, giliran generasi milenial seperti Pendi dan Bintang melanjutkan kerja-kerja budaya tersebut sesuai zamannya. Tinggal menanti para milenial lain mengikuti langkah para milenial Dukuh Butuh melestarikan warisan Nusantara yang diakui dunia itu. “Kami ingin mengembangkan keunikan pembuatan wayang di desa ini supaya tidak punah,” kata Pendi.