Utopia Anak Cucu Tomia
Media Online https://hutanozon.wordpress.com/2018/12/26/utopia-anak-cucu-tomia/
Oleh: Fahmi Aziz , 26 December 2018Kategori: Umum (https://hutanozon.wordpress.com)

Utopia Anak Cucu Tomia

Pesona keindahan Pantai Hongaha, Desa Kulati, Tomia Timur. Foto: Rizal/ Pokdarwis Teemoane

Sekilas saja, orang tentu tahu teman kuliahku Febriansyah, bukanlah penduduk asli Jawa. Rambut ikal dan bibir tebal seolah jadi penanda ia datang dari daerah Timur. Memang benar, tanah kelahirannya di Pulau Tomia, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra). Sejak kuliah dia merantau jauh ke Surabaya, Jawa Timur. Jangan berpikir semua orang Timur punya watak dan logat yang keras. Itu tak berlaku kepada kawanku satu ini.

Kepribadian Ebi –panggilan akrabnya – terbilang kalem nan tenang. Gaya bicaranya teratur dan terstruktur. Aku selalu dibuat kagum dengan rutinitasnya melahap buku-buku sastra. Tak jarang, dia diminta untuk menampilkan monolog puisi di lembaga pers kami. Izinkanku menyamakannya dengan sastrawan muda dari Timur, Faisal Syahreza, meskipun aku belum pernah bertemu secara langsung.
Kuingatkan di sini tak perlu membahas perkara suku. Karena gadis-gadis di kampusku, kabarnya bahkan membentuk fans club khusus untuk sang idola, Ebi. Sebenarnya perawakan laki-laki ini terbilang biasa, tapi kepandaian dan pembawaan dewasanya menjadi sesuatu yang sulit untuk diabaikan. Namun sayang, hati Ebi sudah tertambat pada seorang dara dari kampung halamannya, yang kini tengah berkuliah di Yogyakarta.

“Bi, lulus nanti berarti pulang kampung ya, kan nyonyamu juga asli Tomia?” tanyaku iseng. 
“Gak tahu juga. Mungkin juga enggak,” jawab lelaki 23 tahun ini. 
“Loh, kenapa memangnya?” selidikku. 
“Pulau Tomia itu kecil, Mas. Panjangnya saja hanya sepanjang ruas jalan Poros Usuku-Waha,” sebutnya.

Jalan Poros Usuka-Waha yang dimaksud adalah jalan lurus yang menghbungkan dari Desa Kulati (ujung timur) hingga Kelurahan Waha (ujung barat) dengan jarak 13 kilometer. Sekaligus menjadi jalan utama penduduk Pulau Tomia.

Yah, aku sedikit bisa membayangkan betapa sulitnya hidup di pulau kecil dan terisolasi laut seperti di Tomia. Alam yang asri tak bisa menjamin kesejahteraan ekonomi. Lautan biru tak selalu menyediakan tangkapan berlimpah. Perbukitan belum tentu bisa memuaskan hasrat pergi merantau. 

Kawanku Ebi

Tapi bagaimana dengan pariwisata? Bukankah Wakatobi menjadi salah satu destinasi pariwisata prioritas nasional? Terlebih ada Taman Nasional Wakatobi, surganya biota laut dan terumbu karang. Tentunya, Pulau Tomia yang berdekatan turut merasakan dampak ekonomi dari kunjungan para pelancong, bukan?

Sayang kenyataan berkata lain. Geliat wisata Wakatobi terkonsentrasi hanya di tiga pulau. Pulau pertama, Wangi-Wangi yang merupakan ibukota Wakatobi. Di sana, para turis – baik yang datang dengan transportasi udara maupun laut – singgah sementara. Lalu mereka akan menuju Taman Nasional Wakatobi, yang kawasan wisatanya terpusat di dua pulau. Adalah Pulau Hoga dan Pulau Onemoba’a, surga idaman para wisatawan yang gemar snorkeling dan diving. 

Meski berada tak jauh dari kedua pulau itu, Tomia hanya berperan sebagai lokasi transit. Wisatawan berhenti sebentar di sekitar dermaga Tomia untuk berganti kapal menuju Pulau Onemoba’a. Atau bila ada turis datang melalui jalur udara, mereka biasanya mendarat di Bandara Maranggo, Tomia. Sesampainya, puluhan mobil dari perusahaan wisata swasta setempat sudah terparkir dan menjemput mereka. Jarang terlihat ada pelancong tamasya masuk ke daerah perkampungan.

Sungguh disayangkan, para wisatawan itu tidak berkesempatan mengenal secantik apa Pantai Hu’untete, dengan titik selam Mari Mabuk-nya. Bercengkrama dengan kawanan nemo, penyu, dan ikan warna-warni. Begitu pula media-media arus utama, tak punya catatan lengkap romansa di Pantai Kolosoha (Soha) dengan deretan nyiur dan bentang pasir putih. Dipadu biru panorama taman laut berhias terumbu karang perawan.

Mungkin hanya para tetua Tomia yang mafhum genap riwayat benteng Patua. Sebuah kompleks pertahanan lengkap dengan meriam di beberapa sisinya. Dahulu kala, kerap terjadi perseteruan antara pribumi melawan kaum penjajah dan bajak laut, yang datang dari Laut Banda.

Boleh jadi, cuma anak-anak Tomia yang mengerti asyiknya berenang di kolam pemandian Gua Tewali. Sesekali salah satu dari mereka lompat dari bibir batu tepi kolam. Air jernih dan bening membuat tubuh yang payah kembali bugar. Serta romantisnya pemandangan Puncak Kahyangan saat matahari tenggelam menjadi rahasia di antara para kaum muda di sana.

Wacana Desa Wisata 

Siluet sejoli menikmati momen matahari terbenam di Pantai Cinta, Tomia. Foto: Rizal/ Pokdarwis Teemoane

Ebi menceritakan, sebagian besar mata pencaharian masyarakat lingkungannya adalah nelayan. Wajar, 97 persen kawasan Wakatobi berupa laut dan 3 persen sisanya baru daratan. Selain itu, kehadiran Laut Banda bak tambang emas di sini. Tercatat Wakatobi menjadi bagian dari segitiga karang dunia, dimana menjadi rumah bagi 942 spesies ikan.

Berbagai jenis ikan karang dan biota lainnya beranak-pinak dan membangun koloni di sekitar kepulauan. Dimulai dari ikan kakap, kerapu, hiu karang ataupun lobster. Bahkan, di perairan ini juga menjadi muara kawanan tuna sirip kuning – komoditas ikan termahal di Indonesia. Akan tetapi, hasil tangkapan tidak selalu menguntungkan. Kadang cuaca berangin dan ombak besar menjadi aral. 

Selain nelayan, ada pula sebagian kecil warga yang hidup dari hasil bercocok tanam. Komoditasnya, seperti bawang merah dan singkong. Hampir tak mungkin dijumpai pabrik di Tomia. Tak ada pengusaha yang nekat berinvestasi mendirikan pabrik di atas tanah berbatu karang pulau ini. 

Menengok hasil menjadi nelayan dan petani yang tak bisa menjamin kesejahteraan, banyak dari masyarakat memilih mengadu nasib dan merantau menjadi pedagang antar-pulau. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh orang tua Ebi. Keduanya mengambil barang dari Jawa, lalu dijual ke Digul, Papua. Mungkin itu juga yang akan dilakukan oleh Ebi dan kawan sebayanya kelak.

Akan tetapi, semenjak ditetapkan sebagai destinasi wisata prioritas tahun 2015, mulai muncul kesadaran di antara masyarakat guna mengolah potensi pariwisata daerahnya. Apalagi wisatawan seringkali melewati Tomia, meski hanya transit. Tinggal bagaimana menarik mereka untuk masuk dan lebih mengenal pulau ini. Salah satunya dengan mewujudkan konsep ‘desa wisata’. 

Selain menarik wisatawan, desa wisata diharapkan juga dapat membuka lapangan pekerjaan dan ladang kewirausahaan. Sehingga dapat meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan penduduk pribumi. Kelak, tidak perlu lagi masyarakat lokal Tomia jauh-jauh merantau untuk mencari penghidupan. Mereka tinggal fokus menggarap kampungnya saja.

Seorang wisatawan menyusuri pantai pasir putih Hu’untete, Desa Kulati, Tomia Timur. Foto: Rizal/ Pokdarwis Teemoane

Manahati Zebua dalam bukunya “Inspirasi Pengembangan Pariwisata Daerah” (Deepublish Yogyakarta, 2016) menyebutkan, desa wisata adalah kelompok masyarakat yang perlu dibina agar mereka sadar potensi wisata di daerahnya. Terdapat dua komponen utama dalam mewujudkan desa wisata. Pertama, adanya akomodasi atau tempat tinggal bagi para wisatawan. Kedua, keberadaan atraksi yang menjadi ciri khas seperti kekayaan alam, kesenian, kursus kerajinan, bahasa dan lain sebagainya.

Sebenarnya, rencana desa wisata di Tomia sudah sempat beberapa kali dilakukan sebelumnya. Salah seorang warga lokal, Nur Amalia menceritakan, ketika masih bertempat di Pulau Tomia, Balai Taman Nasional Kepulauan Wakatobi memiliki program pembentukan kelompok Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP). Di beberapa desa dibentuklah SPKP, termasuk di desanya, Teemoane.

“Kira-kira sekitar tahun 2014, SPKP Desa Teemoane dibentuk. Tapi tidak bertahan lama dan berhenti ketika kantor Balai Taman Nasional pindah ke pulau sebelah, Kaledupa,” ungkap pria kelahiran 19 Juni 1989 ini.

Setelah itu, lanjut dia, pihaknya berupaya mencari bantuan dana pendamping dengan mengirimkan proposal ke sejumlah instansi dan pihak swasta. Termasuk PT Astra International Tbk (ASII) yang pada akhirnya – melalui satu program corporate social responsibility (CSR) – menetapkan Desa Teemoane menjadi salah satu Kampung Berseri Astra (KBA) pada tahun 2017. Sebagai koordinator ditunjuklah Nur. 

KBA merupakan bagian dari partisipasi Astra untuk mendukung program pemerintah guna mengentaskan kemiskinan melalui akselerasi pembangunan desa. Program ini menekankan pada bidang pendidikan, kesehatan, lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui program kewirausaaan. 

Langkah Realisasi 

Kelokan Tanjung Harapan di Desa Dete, Tomia Timur. Foto: Rizal/ Pokdarwis Teemoane

Nur menjelaskan, meski diresmikan sejak 2017, tapi program-program KBA baru berjalan memasuki tahun 2018. Langkah pertama yang dilakukan yakni membentuk kelompok sadar wisata (Pokdarwis) Desa Teemoane, Tomia. Dalam waktu dekat, Pokdarwis ini berencana mengeluarkan paket wisata yang bisa ditawarkan ke para pelancong. Destinasi wisatanya akan mencakup seluruh potensi wisata di Pulau Tomia. 

Untuk komponen akomodasi, dia menjelaskan di tahap awal ini sudah terdapat 10 rumah warga Teemoane yang disiapkan menjadi pondok-pondok wisata (homestay). Nantinya jumlah ini akan terus bertambah dengan diadakannya sayembara homestay. Kriterianya yakni memiliki kamar tamu yang nyaman dan terawat, serta kamar mandi bersih dan juga sesuai standar. Pemilik rumah pun harus berada di sana dan rutin membersihkan. 

“Para pelaku usaha homestay ini juga akan mendapatkan pelatihan hospitality dari Astra,” tambah Sarjana Hukum Universitas Haluoleo Kendari tersebut. 
Nantinya, setiap penginapan akan dilengkapi dengan papan informasi untuk memudahkan para wisatawan.

Mengenai komponen atraksi ini dibedakan menjadi dua, yaitu kekayaan alam dan budaya. Seperti diketahui, kekayaan alam Tomia sangat besar. Dimulai dari pesona alam bawah laut, pantai, tanjung, perbukitan hingga jejak sejarah menjadi daya tarik yang melenakan bagi para wisatawan. Belum lagi bila dikolaborasikan dengan kelestarian tradisi dan budayanya.

Saat ini, lanjut Nur, pihaknya tengah menyurvei para pengrajin lokal di Teemoane. Beruntung beberapa saat lalu, pemerintah pusat melalui Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) RI menggelar program pembinaan Inovasi, Kreatif dan Kolaborasi Nusantara (IKKON). Sejumlah pelaku usaha kreatif lokal telah dibekali kemampuan dasar untuk menghadirkan produk yang menarik dan meningkatkan pendapatannya. 

Beberapa hasil kerajinan lokal yang terkenal adalah sarung tenun, tempurung kelapa, olahan kayu dan kerajinan bambu. Material bambu banyak ditemukan di seluruh pelosok Tomia. Oleh pengrajin biasanya bambu itu dibuat menjadi anyaman, alat tangkap ikan, keranjang hingga furnitur. Dengan adanya desa wisata, nantinya para pelaku usaha kreatif ini akan dimudahkan dalam masalah distribusi produknya. Tak perlu lagi menyebrang ke ibukota kabupaten – di Pulau Wangi-Wangi – untuk berjualan. Sebab wisatawan akan datang dengan sendirinya.

Di samping kerajinan, juga ditemukan kearifan lokal lainnya seperti kesenian dan upacara adat. Contohnya tarian Lariangi. Konon tarian ini dahulu dipentaskan khusus untuk sang raja, dan dilantunkan dengan syair-syair. Lalu tarian Balumpa, yang sejak dulu ditampilkan untuk menyambut para tamu terhormat yang berkunjung ke daerah mereka. 

Lembayung dari Puncak Kahyangan, Tomia Timur.. Foto: Rizal/ Pokdarwis Teemoane

“Ada juga pesta adat Safara. Acara ini diselenggarakan setiap bulan Safar. Masyarakat akan beramai-ramai ke laut dan mandi bersama. Ini dilakukan sebagai penghilang dosa. Nah, nantinya seni budaya dan pesta adat ini akan dimasukkan pula dalam paket wisata. Sehingga para wisatawan bisa ikut serta dan mencobanya,” jelas Nur.

Berwisata tak lengkap bila belum mencicipi makanan khas daerah yang dituju. Salah satu menu andalan di Tomia ialah sup khas ikan parende. Umumnya terbuat dari kakap, tapi bisa diganti ikan lainnya. Dimasak dengan paduan kuah asam belimbing wuluh dan pedas cabai rawit, menggugah selera. 

Selain parende, juga terdapat kasuami yaitu makanan pokok masyarakat Wakatobi yang berasal dari singkong. Lalu luluta, beras yang dibungkus daun pisang dan dimasukkan ke dalam bambu yang dibakar ujungnya. Terakhir hebatu, bentuknya seperti lemper yang dimasak di atas batu karang.

“Diharapkan bila desa wisata terwujud, masyarakat bisa mencoba membuka usaha olahan ikan dari hasil tangkapan mereka. Dengan begitu, bisa menjadi nilai tambah ekonomi bagi mereka ketimbang hanya langsung dijual di pasar lokal,” papar dia
. KBA pun menyediakan pelatihan kuliner bagi para wanita di Desa Teemone.

Bagaimana dengan anak mudanya? Anak muda pribumi akan diberdayakan dan diajak untuk berperan aktif dalam mewujudkan desa wisata Teemoane. Mereka akan dilatih menjadi pemandu wisata yang terampil dan berpengalaman. Pelatihan itu dilakukan secara rutin, mencakup simulasi storytelling dan pembekalan pengetahuan sejarah dasar. Selain itu, mereka juga ditugaskan untuk menemui para tetua dan sejarawan di Tomia guna menggali berbagai sejarah dan mitos yang ada di wilayahnya.

“Ini membawa perubahan positif. Yang awalnya kebiasaan mereka hanya nongkrong dan naik motor ugal-ugalan di jalan, mereka kami ajak menjadi lebih produktif,” terang Nur
. 

Targetkan Backpacker dan Kawula Muda

Turis milenial mengeksplorasi Pantai Tee Timur, Desa Kulati, Tomia Timur. Foto: Rizal/ Pokdarwis Teemoane

Pendamping KBA dari Astra, Goris Mustaqim menyebutkan, salah satu faktor yang terpenting dalam membangun desa wisata ialah kesadaran dan partisipasi masyarakat. Dari mereka, oleh mereka dan untuk mereka. Ketika kondisi itu sudah tercapai pembangunan apapun akan cepat tercapai. Inilah yang ditekankan oleh Goris dan tim pendamping KBA Teemoane.

“Ya, salah satu caranya kita dengan tarik-ulur. Mereka harus paham kalau ini semua untuk kepentingan mereka. Tidak bisa menggantungkan semuanya ke pihak lain,” terang Goris
.

Ia menceritakan pernah suatu ketika ada ide untuk membangun sebuah resto apung. Masyarakat diminta untuk swadaya menyumbang sejumlah batang bambu, yang dinilai tak memberatkan. Tapi, ternyata banyak dari mereka yang enggan. Akhirnya Goris dan pihaknya memilih menunggu. Sampai seluruh masyarakat tergerak dengan sendirinya. Stimulus seperti ini terus dilakukan secara bertahap dengan harapan kesadaran warga terbangun.

Adapun dalam penyusunan paket wisata hingga saat ini masih dilakukan survei. Teknisnya, dengan menyebarkan kuesioner kepada segmen yang diasumsikan bakal ke sana. Hasilnya nanti akan dirumuskan dan menjadi gambaran perilaku calon wisatawan mereka. Meliputi penentuan estimasi budget, apa yang terpikirkan ketika menyebut kata ‘Tomia’, oleh-oleh apa yang hendak dibawa pulang dari sana, apa yang mereka ingin lakukan, dan menginap di homestay rumah masyarakat mau atau tidak.

Siapa segmen yang disasar? Ialah backpacker milenial. Perjalanan yang panjang dan harus berganti-ganti moda transportasi jadi alasannya. Katakanlah, Anda datang datang dari Surabaya dan dengan menggunakan transportasi laut. Anda harus menaiki kapal PELNI Surabaya-Makassar-Bau-Bau. Barulah pindah ke kapal motor kayu menuju Tomia. Sementara untuk transportasi udara dengan menaiki penerbangan menuju Bandara Haluoleo, Kendari. Lalu menyambung ke Bandara Matahora, Pulau Wangi-Wangi. Dari sana, menyebrang dengan kapal kayu bermesin.

“Oleh karena itu, dalam paket wisata itu nanti kami akan menghadirkan pengalaman yang tak terlupakan dan menarik bagi generasi milenial. Sebagai contoh, kita berikan sensasi petualangan seperti menyusuri jalan dengan tombak di tangan dan lain sebagainya,” papar dia. 

Terkait promosi dilakukan tiga strategi, dimulai dari digital, event, dan manual. Divisi pemasaran Pokdarwis ditugaskan membuat akun-akun media sosial wisata Tomia, yang di dalamnya gencar menyosialisasikan paket wisata. Lalu nanti kita buat event seperti lomba foto instagram dan vlog, sehingga orang akan lebih mengenal potensi wisata di Tomia. Selain itu, mereka akan mendistribusikan brosur ke para agen travel dan menjalin kerjasama.

Kontras bibir Pantai Kampa, Desa Dete, Tomia Timur. Foto: Rizal/ Pokdarwis Teemoane

Kapan akan dimulainya paket wisata Tomia itu? Goris belum bisa memastikan. Pihaknya ingin fokus mematangkan seluruh aspek pariwisatanya terlebih dahulu. Seperti peningkatan kapasitas desa wisata dan sumber daya manusianya, kemudian pembenahan sarana pendukung wisata dan lain sebagainya.

“Bisa Februari, Maret atau April. Karena sangat sayang, bila kita terlanjur dipasarkan, tapi sumber dayanya belum siap,” ungkapnya.
 
Perihal asumsi harga paket wisata yang ditawarkan, Goris memperkirakan sekitar Rp 1,5 juta di luar transportasi. Dengan itu, para wisatawan sudah mendapat fasilitas homestay, makan, pemandu untuk mengantar mengelilingi seluruh potensi di Pulau Tomia dan praktik kerajinan dan kesenian budaya lokal selama 3-4 hari.

Kelak, desa wisata tak ubahnya Laut Banda bagi masyarakat Pulau Tomia. Keberadaannya begitu esensial. Banyak berkah didulang oleh mereka. Mengentaskan kemiskinan, mencegah pengangguran, pembangunan yang merata, membuka lapangan pekerjaan dan usaha. Kemudian akhirnya meningkatkan kesejahteraan. Bagi siapa? Tidak lain dan tidak bukan, bagi masyarakat lokal. Anak cucu Tomia.
 
Â