Cidadap, Revolusi Halus Melawan Tandus
Media Online https://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2018/12/31/cidadap-revolusi-halus-melawan-tandus
Oleh: Gugum Rachmat Gumilar , 31 December 2018Kategori: Wartawan (Pikiran Rakyat Online)

CIDADAP, REVOLUSI HALUS MELAWAN TANDUS
Oleh: Gugum Rachmat Gumilar/Pikiran Rakyat


SALAH satu bukit kapur di bentang Formasi Rajamandala, Kabupaten Bandung Barat.*

MARI berkenalan dengan Formasi Karst Rajamandala. Sebuah kawasan perbukitan kapur di Kabupaten Bandung Barat, yang memadang dari Padalarang hingga Cipatat.

Dikenal juga dengan sebutan Karst Citatah, Formasi Rajamandala merupakan peninggalan sejarah. Bukti nyata bahwa puluhan ribu tahun lalu, Bandung adalah dasar lautan dengan terumbu karang berparas indah.

Titi Bachtiar menjadi salah seorang sosok penting dalam penelitian kawasan ini. Ia merupakan pakar geologi dari Kelompok Riset Cekungan Bandung, sekaligus anggota Masyarakat Geografi Indonesia.

Bachtiar menjelaskan bahwa di kisaran 27 juta tahun silam, cekungan Bandung merupakan laut dangkal tempat ragam tumbuhan dan binatang karang bersemayam. Naiknya permukaan daratan sebagai fenomena alam, membuat kawasan ini perlahan berubah menjadi perbukitan kapur layaknya sekarang.

Maka tak heran jika di kawasan tersebut, macam-macam fenomena geologi bisa dengan mudah ditemui. Selain perbukitan kapur, banyak pula ditemukan goa yang kaya dengan stalaktit dan stalagmit, juga sungai bawah tanah yang jaringannya amat rumit.

“Inilah arsip bumi yang menyimpan sisa-sisa kehidupan laut jutaan tahun yang lalu,” sebut Bachtiar dalam buku Bandung Purba, yang dia tulis bersama sang istri, Dewi Syafriani.

Namun kini, sepantun gula yang tak lepas dari radar gerombolan semut, perbukitan kapur Formasi Rajamandala pun tak mampu mengelak dari aktivitas tambang yang kian akut. Cobalah menikmati safar di jalur Padalarang hingga perbatasan Cianjur. Selain perbukitan kapur, Anda juga akan disuguhi kemacetan karena truk tua pemikul barang tambang, yang lajunya lelet minta ampun.

Bagaimanapun, kapur adalah peranti berharga. Dari komoditas ini, bisa lahir beragam benda: batuan hias, kosmetik, sampai keramik.

Inilah awal mula kegelisahan. Bukan hanya hancurnya fenomena geologi dan fosil-fosil alam berstatus peninggalan. Lebih dari itu, perbukitan kapur Formasi Rajamandala adalah penyeimbang siklus alami penopang kehidupan. Kawasan ini ibarat tandon raksasa yang menyimpan dan mengatur suplai air bersih, baik untuk penduduk sekitaran maupun warga Bandung secara keseluruhan.

“Sifat batuannya yang sarang, banyak rekahan, menyebabkan air meteorik, air hujan, dapat langsung terserap, membentuk kantung-kantung air tanah di tubuhnya, yang kemudian dikeluarkan secara teratur di kakinya,” papar Bachtiar.

Upaya penyelamatan bukit-bukit kapur Formasi Rajamandala, tentu sejak lama sudah digaungkan. Oleh para aktivis lingkungan pun, beragam aksi dan audiensi telah banyak dilakukan. Ada yang berhasil, namun sering pula berujung kegagalan. Pada kenyataannya, memang sulit untuk menurunkan intensitas pertambangan secara signifikan.

Di tengah beragam upaya penyelamatan ini, tersebutlah sebuah kampung bernama Cidadap. Terletak di wilayah Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Tak cuma masuk dalam areal karst, Kampung Cidadap bahkan punya Tebing Hawu yang merupakan salah satu ikon perbukitan kapur Formasi Rajamandala.

“Memang kompleksitas masalah lingkungan di Kampung Cidadap itu berawal dari permasalahan kawasan karst. Petani, masyarakat, dan pemuda, dari awal sudah melek dan resah dengan penambangan bukit kapur yang kian masif. Apalagi dengan cara peledakan. Ditambah kemudian dengan pertumbuhan perumahan juga. Permasalahan-permasalahan itu membuat masyarakat harus diberdayakan, untuk bersama-sama melakukan langkah konkret dalam pelestarian lingkungan,” ujar Deden Syarif Hidayat, salah satu tokoh penggerak di Kampung Cidadap.

Gerakan pemberdayaan masyarakat pun digagas. Gerakan alon yang mesti klakon. Gerakan yang bisa jadi membutuhkan waktu lebih lama ketimbang sebuah audiensi, butuh sikap yang lebih lunak ketimbang menggelar aksi, tetapi diyakini lebih efektif karena berazas kolaborasi.

“Ada empat pilar gerakan pemberdayaan di kampung ini: lingkungan hidup, pendidikan, kesehatan, dan kemasyarakatan. Empat pilar tersebut kami realisasikan ke berbagai macam program. Itu yang kami lakukan,” kata Deden.

Inilah contoh gerakan masif dari sekumpulan warga yang ingin menjaga kelestarian kampung halaman mereka. Baik dari keniscayaan kemajuan zaman, maupun dari ketidaktahuan dalam mengelola alam. Serentetan gerakan halus, untuk menolak tanah pijakan mereka kian tandus.

Di sini, berwisata butuh nyali


HAMMOCKING di tebing, salah satu wisata ekstrem di Kampung Cidadap.*

Telefon genggam Gugum Maulana Ismail berdering keras, Senin 24 Desember 2018. Pria 26 tahun ini pun bergegas, menjauh dari kerumunan anak didiknya yang tengah berlatih panjat dinding. Setelah mendapat posisi hening, percakapan dengan penelefon segera dimulai. Ternyata dari seorang wanita yang tertarik untuk mencoba wisata ekstrem Tebing Hawu. Seperti biasa, calon wisatawan memang harus menentukan waktu kunjungan terlebih dahulu.

Sejak 2014, Gugum dan sekitar sepuluh temannya, merintis kegiatan wisata minat khusus di Tebing Hawu. Sebuah bukit kapur yang masih termasuk teritorial kampung halaman mereka, Kampung Cidadap, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Konsep wisata yang ditawarkan, amat tak biasa. Diperuntukkan bagi mereka yang punya nyali di atas rata-rata.

Gugum menjelaskan, setidaknya ada lima jenis wisata ekstrem yang disediakan. Yang pertama sekaligus yang paling tenar, adalah hammocking di antara dua sisi tebing. Selanjutnya, ada juga paket wisata panjat dan rappeling. Lalu spacenet atau bermain di perangkat serupa jaring laba-laba, yang tersimpul dengan tiga sisi tebing. Yang terakhir adalah wahana sepeda gila, yang berarti bersepeda melintasi tebing di gantungan serangkaian tali. Lumayan mengerikan…

Namun jangan khawatir, Gugum dan rekan-rekannya adalah sosok terlatih dan profesional. Perangkat yang digunakan pun sudah memenuhi standar keamanan. Para instruktur di sini bahkan sudah jamak menangani wisatawan yang sama sekali tak punya pengalaman.

“Masing-masing paket wisata itu kami hargai Rp 150.000 sampai Rp 250.000 per orang. Itu sudah termasuk peminjaman alat, instruktur, bahkan bantuan transportasi dari jalan raya ke lokasi tebing. Jadi, wisatawan ibaratnya tinggal bawa badan saja,” kata Gugum.


SALAH satu kegiatan wisata ekstrem di Kampung Cidadap.* 

Dirintis sejak 2014, wisata ekstrem di Tebing Hawu kian mendapat kemasyhurannya. Terutama sejak warganet gemar berlomba-lomba mencari foto terbaik untuk Instagram mereka. Wisata hammocking di ketinggian tebing, viral di kisaran tahun 2015. Sejak saat itu, Kampung Cidadap dan Tebing Hawu-nya, menjadi tujuan pemburu foto sosial media.

Terutama akhir pekan, pengunjung Tebing Hawu datang silih-berganti. Paling banyak, kata Gugum, sehari 20 orang menjajal nyali. Sementara paling sedikit, sesuai jumlah minimal yang ditetapkan, adalah empat orang wisatawan. “Kalau kurang dari empat orang, biasanya kami gabung jadwalnya dengan wisatawan lain,” tutur pria yang juga mengelola akun instagram @tebing_hawu sebagai sarana promosi wisata ekstrem ini.

Selain dari Bandung, wisatawan paling banyak datang dari Jakarta. Pelancong asal sejumlah negara di Asia Tenggara juga beberapa kali menjajal keberanian mereka. Wisata ekstrem Tebing Hawu bahkan pernah didatangi dan diliput media massa Aljazair dan Cina.

Berwisata ekstrem di Tebing Hawu, rata-rata menghabiskan total waktu sekitar empat jam saja. Itu karena biasanya, wisatawan sudah cukup puas saat mereka sudah mendapatkan dokumentasi berupa jepretan kamera. Untuk hammocking di tebing misalkan, setiap pengunjung rata-rata hanya menghabiskan waktu lima sampai sepuluh menit bergelantungan menikmati ayunan. Yang penting selfie.

“Tapi pernah ada yang bisa bertahan di hammock sampai satu jam. Itu karena dia hammocking-nya berdua sama pasangan, jadi instrukturnya nungguin yang pacaran,” ujar Gugum tertawa.

Bagi Gugum dan teman-temannya, aktivitas wisata ekstrem Tebing Hawu bukan semata program kemasyarakatan. Lebih dari itu, inilah bentuk lain dari upaya penyelamatan. Pasalnya, Tebing Hawu adalah salah satu titik pertambangan. Aktivitas tambang bahkan masih ramai di tahun-tahun pertama wisata ini digalakkan.

Seiring kian ramainya lokasi wisata ekstrem ini, izin tambang di kawasan Tebing Hawu tak diperpanjang lagi. “Kalau saja kawasan Tebing Hawu tidak ramai wisatawan, dalam artian tak terlihat punya potensi wisata, bisa jadi akan beda ceritanya, pertambangan mungkin diperpanjang izinnya,” tutur Gugum.

Kini, setelah menyumbang andil menghentikan pertambangan di Tebing Hawu, para penggiat panjat tebing dan wisata ekstrem di Kampung Cidadap tengah menggagas upaya regenerasi. Seperti saat Pikiran Rakyat menemui Gugum, ia tengah berlatih riang dengan belasan anak kecil di sekretariat mereka. Sebuah sekretariat berupa bangunan semi terbuka, yang dilengkapi dengan fasilitas latihan panjat dinding di dua sisinya.


ANAK-anak berlatih panjat dinding.*

Anak-anak itu dilatih, selain untuk mengembangkan wisata ekstrem di Kampung Cidadap, juga siapa tahu ada yang berprestasi di dunia olah raga. Seperti beberapa rekan Gugum, yang semula mempelajari dunia panjat untuk hobi dan memandu wisata, ternyata berbuah juara dua dan tiga di ajang Porda.

"Ke depannya, saya berharap Tebing Hawu ini lebih terkenal. Minat warga untuk mengembangkan wisata ekstrem ini juga semakin tinggi, hingga mendatangkan keuntungan ekonomi yang lebih besar. Utamanya juga agar Tebing Hawu tetap terjaga, karena sejak awal, wisata ekstrem ini adalah salah satu konsep penyelamatan tebing kapur dari pertambangan,” kata Gugum.

Solusi mata pencaharian serupa tanaman


ANTONI mengurus kebun kampung yang dibuka untuk pemberdayaan.*

Di bagian lain Kampung Cidadap, Antoni Nendar Lukman bergegas bertapak kaki menuju kebun kampung. Dua hari sekali dia mendatangi tempat bercocok-tanam ini. Bukan milik perorangan, areal kebun seukuran 15x30 meter tersebut sengaja dibuka untuk program pemberdayaan.

Dengan giat perkebunan, diharapkan warga Kampung Cidadap punya pilihan lain dalam aktivitas mengelola lingkungan. Syukur-syukur bisa jadi solusi mata pencaharian. Termasuk bagi mereka yang pernah menggantungkan hidup di dunia pertambangan.

Enam bulan terakhir, Antoni ditunjuk sebagai salah seorang penanggung jawab kebun. Pria 34 tahun yang berprofesi sebagai seniman pahat ini, bertanggung jawab dengan kelangsungan hidup tanaman-tanaman di dalamnya. Di kebun yang terletak di pinggiran pemukiman warga tersebut, tumbuh banyak jenis tanaman sayur. Mulai dari kangkung, sawi, sampai bawang daun.

Antoni dan timnya, membagi kebun ini menjadi dua areal. Areal yang dilengkapi atap, adalah tempat untuk berkebun dengan pola hidroponik. Sementara di bagian terbuka, ditanami sayuran dengan teknik tanam konvensional.

Sang ayah dua anak menjelaskan, hidroponik adalah teknik menanam yang seutuhnya mengandalkan air. Tanaman sama sekali tidak bersentuhan dengan tanah sejak pembenihan sampai panen dilakukan. Sayuran hanya diletakkan di lubang-lubang pipa yang saban dua hari airnya diisi ulang. “Rata-rata sayuran hidroponik ini butuh 30 sampai 40 hari dari pembenihan sampai panen. Kami sudah dua kali panen,” kata dia.

Antoni memandang, pola tanam hidroponik adalah harapan baru bagi warga Kampung Cidadap, terutama yang berminat di dunia perkebunan. Menurutnya, masakan dari sayuran hidroponik memiliki cita rasa yang berbeda. Jika kapasitas produksi sudah mumpuni, hidroponik juga menjanjikan nilai ekonomi. Pasalnya kalau dibandingkan dengan sayuran biasa, harga jualnya jauh lebih tinggi.

Meski memiliki bermacam kelebihan, menurutnya, sayuran hidroponik kurang tumbuh bagus di musim hujan. Inilah yang membuat Antoni dan timnya tetap mempertahankan pola tanam konvensional, yakni untuk sayuran yang ditanam di area terbuka kebun itu. Minimal, sayuran yang tumbuh di area terbuka ini bisa menjadi cadangan saat hidroponik tak memungkinkan.

Aktivitas di kebun kampung, terutama dengan pola tanam hidroponik, diakui belum menghasilkan keuntungan besar dalam hal materi. Namun Antoni punya mimpi, pola tanam ini bisa diaplikasikan oleh warga di kediamannya masing-masing secara mandiri. Jika sudah demikian, dipastikan produksi tanaman hidroponik di Kampung Cidadap punya nilai ekonomi tinggi.

“Tidak muluk-muluk cita-cita saya mah. Dalam jangka pendek, kami hanya ingin program kebun hidroponik ini bisa terus berjalan. Jangka panjangnya, mudah-mudahan bisa menular ke semua warga di sini. Masing-masing punya kebun hidroponik, karena pola tanam ini memang cocok untuk berkebun di lahan yang minim di rumah masing-masing. Kami nikmati saja dulu prosesnya, terus belajar, nanti juga menghasilkan,” kata dia sambil terus menunjukkan beberapa jenis tanaman.

Cita-cita sederhana seorang Anjar


ANJAR mengisi biodigester, program pengelolaan limbah di Kampung Cidadap.*

Sementara Antoni sibuk dengan tanaman rawatannya, Anjar Zulfikar (25) anteng dengan perangkat biodigester berwarna hijau tua. Dia masih ingat betul saat alat tersebut pertama kali dipasang di kampungnya. Itu terjadi sekitar satu tahun lalu. Warga harus bersanding bahu sekadar untuk memosisikan perangkat utama yang berdimensi 100x75 sentimeter itu.

“Alatnya digotong, Kang, sama lima orang,” kata Anjar terkekeh. Perangkat biodigester ditempatkan di bangunan semipermanen yang masih satu konstruksi dengan kebun hidroponik.

Semenjak itu, keberadaan biodigester ibarat mainan baru bagi warga Kampung Cidadap. Kelompok pengelola dibentuk, sosok-sosok penanggungjawab ditunjuk. Anjar salah satunya. Kegiatan pun dimulai.

Anjar memilih kotoran sapi sebagai bahan baku utama perangkat biodigester ini. Pasalnya, tak jauh dari sana memang terdapat kandang sapi, yang kotorannya tak berarti apa-apa bagi si empunya. Kotoran yang relatif masih basah, diangkut dan dimasukkan ke perangkat biodigester. Pengisian dilakukan dua pekan sekali, sesuai dengan siklus kerja perangkat ini.

Sekali isi, sebanyak 100 kilogram kotoran sapi bisa dimasukkan. Setelah terpendam dua pekan, dengan sendirinya kotoran sapi akan menghasilkan gas metan. Gas lantas dialirkan menggunakan rangkaian pipa ke kompor-kompor di dapur kantor bank sampah, tak jauh dari sana.

Gas dari instalasi biodigester memang belum disalurkan secara umum ke warga kampung. Soalnya, ini baru semacam pilot project dan program lanjutan.

Dalam hal bersih-bersih limbah, sebelum biodigester digalakkan, Kampung Cidadap sebenarnya sudah riuh dengan semangat membangun bank sampah. Bank sampah ini dimotori oleh tim yang sama. Anjar dan rekan-rekannya mengambil limbah rumah tangga setiap dua pekan ke rumah-rumah warga. Sampah dikumpulkan, lantas dipisahkan antara organik dan anorganik.

Sampah organik macam sayuran dan sisa makanan, dimasukkan ke instalasi pupuk komposter. Paling cepat satu pekan, sampah tersebut berubah menjadi pupuk cair yang bisa dimanfaatkan untuk perkebunan.

Sementara sampah anorganik dikelola lebih lanjut agar memiliki nilai jual. Untuk sampah berupa kemasan air mineral saja, bisa dipisahkan antara botol, label, dan tutupnya. Itu dijual terpisah agar nilainya lebih tinggi. Dijual ke pengepul satu bulan sekali.

Hasil penjualan sampah anorganik, lantas dikumpulkan. Setelah satu tahun, uangnya dibagikan ke warga. Sebagai media pencatatan, setiap warga memiliki kartu bank sampah yang berfungsi layaknya rekening tabungan.

“Dari bank sampah dan biodigester ini, cita-cita saya pribadi mah sederhana sebenarnya, saya hanya ingin melihat warga tidak membuang sampah sembarangan. Ibaratnya, mampu memperlakukan sampah dengan baik, lebih jauh lagi bisa menjaga kelestarian lingkungan,” kata lajang yang juga pebisnis online ini, mengungkapkan harapan.

Membagi inspirasi

PENDAMPINGAN terhadap Kampung Berseri Astra Cidadap.* 

Gerakan halus melawan tandus yang digiatkan warga Kampung Cidadap, kian masif beberapa tahun terakhir. Tekad kuat masyarakatnya, bersambut gayung dengan pihak-pihak yang mendukung. Terutama dengan hadirnya Astra Internasional sejak dua tahun lalu. 

Melalui program CSR-nya, perusahaan yang bergerak di bidang otomotif ini mengukuhkan Kampung Cidadap sebagai Kampung Berseri Astra. Sebuah program pendampingan yang sudah digalakkan di banyak tempat di Indonesia.

Dengan pengukuhan ini, pendampingan seketika dilakukan; pelatihan beragam kemampuan diberikan; sejumlah bantuan fasilitas pun digelontorkan. Sebut saja instalasi biodigester, perangkat hidroponik, dukungan untuk program wisata, pembangunan fasilitas MCK, sumur bor, sumur-sumur resapan, perangkat angklung untuk pendidikan, penyediaan alat dan sistem pengelolaan sampah, sampai pengecatan massal kawasan pemukiman. Kampung Cidadap seolah mendapat partner dalam pergerakan.

“Sebuah kampung dapat menjadi binaan Astra dengan sejumlah kriteria yang telah distandarisasi oleh Astra, antara lain komitmen dari masyarakatnya yang siap menjadi penggerak lokal,” kata Djunaedi Syarif, pendamping Kampung Berseri Astra dari CSR Department Astra Honda Motor.

Keinginan untuk bergerak, inilah yang dilihat Astra dari Kampung Cidadap. Terutama terkait kecintaan masyarakatnya terhadap keutuhan peninggalan alam. Djunaedi tahu betul bahwa sejak lama, sebelum Astra datang membina, pemuda-pemuda kampung ini pun sudah aktif membentuk organisasi dalam upaya penyelamatan perbukitan kapur Formasi Rajamandala.

“Kami melihat potensi dari beberapa aspek, yaitu braindware, software, dan hardware. Dari aspek-aspek ini bisa tergambar motivasi dan komitmen untuk maju bersama. Dan hal ini kami tangkap dari masyarakat Kampung Cidadap, khususnya para pemudanya yang tergabung dalam FP2KC (Forum Pemuda Pencinta Karst Citatah). FP2KC ini yang menjadi jalan masuk kami di Kampung Cidadap,” kata Djunaedi.

Besar harapan Djunaedi, Kampung Cidadap bisa jauh lebih kencang berlari ketimbang sebelumnya. Apa lagi, program yang dinaungkan pada kampung ini tak main besarnya. Di seluruh Indonesia, sampai 2018 ini saja, sebanyak 77 kampung sudah dikukuhkan sebagai Kampung Berseri Astra. Kampung-kampung itu mendapat pendampingan dalam segala macam program pemberdayaan masyarakatnya.

Dan yang paling penting, bukan hanya untuk kampung itu sendiri. Astra justru berharap, kampung-kampung yang didampingi bisa memberi inspirasi. Menyebarkan pengaruh, mengajarkan bagaimana mengelola kampung agar bisa sehat, produktif, dan asri. Minimal, inspirasi tersebut disebarkan ke daerah-daerah terdekat di sekelilingnya.

“Ke depan, kami pun berharap, Kampung Cidadap bisa menjadi contoh dalam kemandirian masyarakat untuk membangun kelestarian lingkungan dan meningkatkan taraf hidup warganya. Mandiri secara ekonomi, dan tetap berakar pada budaya Sunda yang produktif,” kata Djunaedi, memungkasi.***Â