Sidowarno; Semangat Kampung Wayang yang Bertahan Melawan Kepunahan
Media Online https://www.lagilibur.com/2018/12/semangat-kampung-wayang-sidowarno.html
Oleh: Sukma Aji , 31 December 2018Kategori: Umum (Http://www.lagilibur.com)

Klaten; sebuah kabupaten di Jawa Tengah yang barangkali tak begitu dikenal oleh banyak orang. Namanya memang tak setenar dua kota yang mengapitnya, Surakarta dan Yogyakarta. Padahal jika ditengok lebih dalam, kota ini juga menyimpan begitu banyak warisan dan kearifan lokal yang patut dilestarikan. 

Di bagian ujung timur kota ini misalnya. Ada sebuah desa yang hingga saat ini masih melestarikan salah satu warisan leluhur yang termasyhur. Bahkan sebagian masyarakatnya, menjadikannya sebagai sumber pundi penopang perekonomian. Selamat datang di Desa Sidowarno, sentra seni tatah sungging wayang kulit yang bertahan melawan kepunahan.

Pendi; Penatah Wayang Termuda di Sidowarno (dok. pribadi) 
Pendi; Penatah Wayang Termuda di Sidowarno (dok. pribadi)

Pagi itu saya bertemu Pendi. Seorang pemuda berusia 29 tahun yang sudah sejak empat tahun lalu menekuni profesinya sebagai salah satu pengrajin tatah sungging wayang kulit di desa ini. Sebagai pengrajin yang berusia muda, ia kerap mengundang banyak tanya. Di saat anak muda lain memilih hijrah ke kota untuk menjadi seorang eksekutif muda, ia justru memilih menetap di desanya. Bukan sekadar meneruskan profesi ayahnya, tetapi ia juga memelihara kelestarian warisan bangsa.

Kedatangan saya disambut Pendi dengan ramah. Pun oleh anggota keluarga lain yang pagi itu tampak tengah asyik bersantai di teras rumah. Hangat dan bersahaja, kesan pertama saya pada mereka. Pendi kemudian menghentikan pekerjaannya dan mempersilakan saya duduk di kursi terasnya. Tak butuh waktu lama untuk menjelaskan maksud kedatangan saya. Ia pun dengan senang hati mempersilakan saya untuk bertanya.

“Ya, seperti ini aktivitas saya dan keluarga sehari-hari mas. Monggo, silakan kalau ada yang ingin ditanyakan.”

Awal Mula Seni Tatah Sungging di Sidowarno

Pertanyaan pertama saya tak lain adalah tentang perjalanan Dukuh Butuh, Desa Sidowarno sebagai sentra seni tatah sungging yang bisa bertahan hingga saat ini. Ia pun menjelaskan bahwa seni tatah sungging mulai masuk ke desanya sekitar tahun 1955. Kala itu, beberapa orang dari desanya belajar dari desa lain di kabupaten tetangga. Keahlian itu pun kemudian disebar luaskan dan diwariskan pada keturunannya. Ayah Pendi, Saiman (56 tahun) bahkan sudah menekuni profesi ini sejak tahun 1974 dan tercatat sebagai pengrajin seni tatah generasi kedua.

Ketekunan masyarakat desa ini membuat seni tatah sungging semakin berkembang. Dari yang awalnya hanya 2 hingga 3 pengrajin saja, kini jumlahnya menjadi sekitar 70-80 pengrajin. Namun hal itu tak lantas membuat pengrajin wayang merasa tenang. Ada kekhawatiran jika seni tatah sungging wayang ini lambat laun akan menghilang. Bukan tanpa alasan, karena beberapa tahun belakangan jumlah pengrajinnya tak ada lagi perkembangan, bahkan nihil dari regenerasi baru yang bermunculan.

“Saya termasuk pengrajin paling muda mas. Cari generasi penerus itu agak sulit di sini.”

Proses Tatah Sungging Wayang Kulit

Dalam proses pembuatannya, wayang kulit membutuhkan beberapa tahap dan proses yang panjang. Untuk memudahkan pengerjaannya, biasanya setiap anggota keluarga dilibatkan dengan andil yang berbeda. Sambil bercerita, Pendi pun menunjukkan prosesnya.

Lembaran Kulit Kerbau Bahan Baku Wayang Kulit (dok. pribadi)
Lembaran Kulit Kerbau Bahan Baku Wayang Kulit (dok. pribadi)

Sebuah lembaran kulit kerbau yang berukuran besar ia perlihatkan. Kulit tersebut ia dapatkan dari pengepul yang berasal dari Banyudono, Boyolali. Untuk dijadikan bahan baku pembuatan wayang, sebelumnya lembaran kulit kerbau tersebut harus melalui proses perendaman, penjemuran, dan pengerokan untuk menghilangkan bulunya.

Di Sidowarno sendiri ada seorang pengrajin yang khusus melakukan proses pengerokan ini, sehingga Pendi dan pengrajin lain tak perlu melakukannya. Lembaran kulit yang sudah kering dan bersih ini kemudian dipotong-potong sesuai ukuran wayang yang akan dibuat. Selanjutnya kulit kembali direndam selama setengah hari dan masuk ke tahap kentheng. Di tahap ini, kulit akan dipaku di atas papan kayu dan dibiarkan selama 4-5 hari. Proses ini bertujuan agar kulit lebih kencang dan rata sempurna tanpa ada gelombang atau kerutan. 

Proses Kentheng(dok. pribadi)
Proses Kentheng(dok. pribadi)

Pendi kemudian mengajak saya melihat proses nyoret yang sedang dilakukan oleh Saiman. Nyoret adalah proses menyontek sketsa gambar wayang yang akan dibuat. Meski hanya menyontek, namun proses ini membutuhkan kehati-hatian. Salah-salah, bentuk wayang tidak sesuai dengan tokoh wayang yang diharapkan. 

Proses Nyoret oleh Saiman (dok. pribadi)
Proses Nyoret oleh Saiman (dok. pribadi)
Proses Nyoret oleh Saiman (dok. pribadi)
Proses Nyoret (dok. pribadi)

Selanjutnya tibalah pada proses inti, yakni menatah atau memahat. Proses ini ditunjukkan langsung oleh Pendi. Paku pahat berbagai ukuran ia mainkan untuk mendapatkan bentuk yang diinginkan. Butuh kesabaran agar hasilnya halus dan rapi. Bahkan proses ini membutuhkan waktu berhari-hari. Biasanya, Pendi mengerjakan proses ini di dalam ruangan saat pagi atau malam hari, sebab dengan cara ini kelembaban kulit bisa terjaga selama proses penatahan.

Proses Menatah (dok. pribadi)
Proses Menatah (dok. pribadi)
Proses Menatah (dok. pribadi)
Proses Menatah (dok. pribadi)

Dari menatah saya kemudian mendatangi Sri Asih, Ibu Pendi yang memiliki tugas untuk proses sungging atau pewarnaan. Proses ini juga tak kalah penting karena menjadi bagian dari proses akhir pembuatan wayang kulit. Ulat-ulatan atau raut muka wayang juga menjadi tanggung jawab penting bagian ini. Dengan ulatan yang rapi, membuat kesan raut muka wayang lebih hidup.

Proses Menyungging  (dok.pribadi)
Proses Menyungging  (dok.pribadi)
Proses Menyungging  (dok.pribadi)
Proses Menyungging  (dok. pribadi)

Kembali ke Saiman, saya kemudian ditunjukkan proses pengelukan atau pemasangan pegangan wayang. Pegangan wayang yang terbuat dari tanduk kerbau dipanaskan di atas api teplok, kemudian dibentuk lengkungan-lengkungan mengikuti bentuk wayang. Untuk mengikatnya, Saiman menggunakan jarum dan benang. Wayang pun siap untuk dipasarkan.

Proses Pengelukan  (dok. pribadi)
Proses Pengelukan  (dok. pribadi)
Proses Pengelukan  (dok. pribadi)
Proses Pengelukan  (dok. pribadi)

Pemasaran dari Mulut ke Mulut

“Untuk pemasaran, kebanyakan getok tular aja mas. Jadi ya dari mulut ke mulut.”

Pendi tak pernah mematok harga pasti dari setiap wayang yang dibuat. Menurutnya, semua tergantung ukuran, kerumitan, pewarnaan dan kualitas tatahan. Biasanya ia menjualnya di kisaran 400 ribu sampai 5 juta rupiah. Ia mencontohkan, sebuah wayang bisa memiliki nilai harga hingga 5 juta rupiah karena menggunakan lapisan emas murni pada proses penyunggingan atau pewarnaan, atau kualitas tatahan yang halus, rapi, dan detail. Kemudian ia juga menunjukkan salah satu wayang pesanan berukuran besar. Menurutnya, dibutuhkan waktu dan ketelitian lebih untuk membuat wayang tersebut, sehingga harganya pun menyesuaikan. Pelanggan Pendi sendiri rata-rata adalah seorang dalang, kolektor, dan beberapa pedagang. 

WayangPesanan Berukuran Besar (dok. pribadi)
WayangPesanan Berukuran Besar (dok. pribadi)
WayangPesanan Berukuran Besar (dok. pribadi)
Wayang Pesanan Berukuran Besar (dok. pribadi)

Melihat proses tatah sungging yang begitu rumit, saya semakin penasaran dengan alasan Pendi yang tergerak untuk melakoni bisnis ini. Ia pun menjawab dengan mantap :
 “Saya pernah bekerja di perusahaan dan mendapat gaji yang hanya segitu-segitu saja. Sementara melihat bapak saya yang tekun membuat wayang, justru mendapat hasil yang lebih besar. Suatu hari bapak kewalahan mengerjakan pesanan. Saya fikir, kenapa saya tidak mencoba membantunya. Ternyata selain hasilnya lebih menjanjikan, saya juga mendapat kepuasan batin. Saya senang bisa memegang tongkat estafet regenerasi salah satu warisan negeri ini”

Pendi yang dulu tak pernah terfikir untuk menjadi pengrajin, saat ini justru ikut merasa resah dengan semakin sulitnya regenerasi pengrajin seni tatah sungging ini. Apalagi desa di kota tetangga yang sebelumnya menjadi tempat belajarnya pengrajin tatah sungging Desa Sidowarno kini jumlah pengrajinnya semakin berkurang dan terancam hilang. Tak ingin desanya bernasib sama, Pendi dan kawan-kawannya pun berupaya mencegahnya.

Menjadi Bagian dari Kampung Berseri Astra




Sejauh ini, pemanfaatan seni tatah sungging oleh masyarakat Sidowarno memang hanya sebatas memproduksi dan belum dimaksimalkan dari sisi lainnya. Padahal jika potensi ini bisa dikelola dengan baik, tak menuntut kemungkinan bisa mengangkat perekonomian semua lapisan masyarakat dari berbagai bidang. Salah satunya, dari bidang pariwisata.

Setidaknya ada dua hal yang menjadi konsentrasi para pengrajin di Sidowarno dengan adanya program KBA Astra ini, yakni bisa membantu menciptakan regenerasi baru dan menjadikan Sidowarno sebagai salah satu desa wisata. 

“Kami masih mencari formula, bagaimana manfaat program KBA ini nantinya bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, tidak hanya kami para pengrajin saja.” Ungkap Pendi di sela-sela obrolan kami.

Sesuai dengan 4 Pilar Program CSR Astra

Selaras dengan 4 pilar program CSR Astra, yakni pendidikan,  kewirausahaan, kesehatan, serta lingkungan, Pendi dan kawan-kawan memiliki perencanaan dalam keempat bidang tersebut agar seni tatah sungging yang mereka miliki bisa lebih diberdayakan serta mencegahnya dari kepunahan.

Program paling utama di bidang pendidikan akan difokuskan pada upaya menciptakan regenerasi baru yang kian sulit. Di antaranya dengan memberikan beasiswa pendidikan bagi 35 siswa asal Dukuh Butuh dan mengadakan demo pembuatan wayang serta sosialisasi ke sekolah-sekolah untuk memberikan edukasi tentang betapa pentingnya belajar seni tatah sungging demi eksistensi wayang kulit di kemudian hari.

Di bidang kewirausahaan, para pengrajin akan diberikan pembekalan mengenai sistem administrasi. Selama ini, umumnya pengrajin hanya melakukan pekerjannya secara konvensional tanpa ada pencatatan atau pembukuan. Dengan pembukuan yang rapi, diharapkan para pengrajin bisa mengatur keuangan dengan baik. Untuk membangun branding Desa Sidowarno sebagai desa sentra seni tatah sungging wayang kulit, masyarakat juga akan membangun sebuah gapura sebagai tanda bahwa desanya merupakan salah satu sentra seni tatah sungging yang tersisa.

Sementara itu sebagai bentuk pelayanan bagi masyarakat, tak lupa program kesehatan direncanakan dengan mengadakan penyuluhan kesehatan secara rutin dan pengadaan obat gratis bagi masyarakat utamanya bagi para lansia.

Pendi juga menuturkan, masyarakat Sidowarno berencana membangun bank sampah sebagai bentuk kepedulian lingkungan. Masyarakat akan didorong untuk bisa memilah sampah organik dan anorganik.

“Saat ini memang masih dalam proses perencanaan, karena kami masih sangat baru. Insyaallah tahun 2019 semua program bisa berjalan.”

Melalui program 4 pilar yang telah disebutkan, Pendi berharap program KBA tidak hanya dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat Sidowarno, namun juga mampu menanamkan rasa cinta dan minat kawula muda Sidowarno terhadap seni tatah sungging wayang kulit ini. Sehingga nantinya tak ada lagi kekhawatiran pengrajin wayang akan menghilang. 

Dua Generasi Pengrajin Seni Tatah Sungging (kiri) Saiman, (kanan) Pendi. (dok. pribadi)
Dua Generasi Pengrajin Seni Tatah Sungging (kiri) Saiman, (kanan) Pendi. (dok. pribadi)

Kendati saat ini masih dalam proses perencanaan, tetapi sebagai embrio Kampung Berseri Astra, Sidowarno memiliki semangat yang menyala untuk bisa mendunia.

Terima kasih Astra!

*Tulisan ini diikutsertakan dalam Anugerah Pewarta Astra 2018