Tangan-tangan Ibu di Pulau Seribu
Media Online https://www.iraguslina.com/2018/12/tangan-tangan-ibu-di-pulau-seribu_31.html
Oleh: Ira Guslina Sufa , 31 December 2018Kategori: Umum (http//:www.duniabiza.com)

TANGAN-TANGAN IBU DI PULAU SERIBU

DESEMBER 31, 2018

 

 



 
Penyu malang itu mengambang. Warnanya memutih. Hampir seluruh badannya diselimuti lendir. Dalam keadaan mati, ia hanyut, terombang-ambing terbawa arus laut.
 
***
 
Berita kematian penyu di perairan Kepulauan Seribu, akhir November 2018 lalu segera tersiar. Video yang diunggah salah seorang nelayan itu seketika menjadi viral di media sosial. Lebih dari 10.000 orang menonton video tersebut dalam waktu kurang dari seminggu. Stasiun televisi di Jakarta ramai-ramai  memberitakan, begitu pula dengan media online dan cetak nasional.   
 
Tidak hanya satu, melainkan tiga penyu ditemukan mengambang di antara gelombang sampah yang mengarah ke Kepulauan Seribu.  Para aktivis lingkungan menyebut, sampah menjadi penyebab di balik kematian tiga penyu malang itu.

“Mereka kemungkinan besar mati karena sampah, dan kami dalam beberapa waktu ini sudah sering menemukan hewan laut mati karena sampah di sana,” ujar Dwi Sawung, Manager Perkotaan dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) seperti dikutip dari situs online Kompas.com.
 
Potret Sampah di Dermaga Kali Adem; Sampah menjadi persoalan besar yang selalu memenuhi pantai Teluk Jakarta
 
 
Sampah. Lagi-lagi soal sampah. Kita sudah sering mendengar cerita buruk bagaimana sampah menjadi momok bagi kehidupan di lautan. Berita kematian seekor paus raksasa di Wakatobi Sulawesi Selatan pada pertengahan November 2018 ini juga disebabkan masalah sampah. Lebih dari 5,9 kilogram plastik ditemukan dalam perut makhluk raksasa itu.
 
Lewat seorang kawan yang bolak-balik ke beberapa daerah di Kepulauan Seribu, saya juga sering mendengar cerita mengenai keluhan nelayan yang berhadapan dengan sampah. Tak hanya membahayakan hewat laut, sampah-sampah juga menjadi bencana bagi penduduk pulau di tepi Jakarta itu. Bila musim banjir di ibu kota, sampah-sampah terbawa hanyut ke sungai, mengalir ke laut, lalu mendarat di salah satu pulau.
 
Saya jadi teringat dengan Pulau Pramuka. Beberapa waktu lalu, saya pernah membaca, bahwa di Pramuka, masyarakat tengah membulatkan tekad. Bahu membahu membebaskan pulau dari sampah lewat sebuah gerakan, Pulauku Nol Sampah. Bagaimana kabar warga di sana? Apakah sampah juga telah merebut pulau mereka?  
 
***
 
Laut Biru; pemandangan asri dan bersih menyambut kedatangan di Dermaga Pulau Pramuka 
 
 
Laut biru, air jernih dan semilir angin menyambut kedatangan saya ketika akhirnya tiba di Pulau Pramuka, Sabtu pertengahan Desember lalu. Menempuh perjalanan lebih dari 4 jam, sekitar pukul 2 siang, kapal KM Arwana milik BUMN Angkutan Sungai Danau dan Penyebarangan (ASDP) yang saya tumpangi merapat di dermaga. Pagar tembok dengan aneka warna menyambut mata.
 
“Selamat datang di Pulau Pramuka,” ujar Pak Trismo, awak kapal yang mengantarkan kami menyeberang pulau.  
 
Sepanjang perjalanan, saya banyak mendapat cerita dari beliau mengenai kehidupan masyarakat di Pulau.
 
Pulau Pramuka merupakan pulau kecil yang didiami sekitar 300 kepala keluarga. Mata pencaharian utama penduduk adalah nelayan dan buruh serabutan. Secara administratif kependudukan masyarakat Pulau Pramuka merupakan bagian dari kelurahan Pulau Panggang yang berpusat di Pulau Panggang. Sejak Pulau Seribu berubah menjadi kabupaten sendiri terlepas dari Jakarta Utara, Pramuka dijadikan ibukota kabupaten dan mulai difungsikan pada 2003.
 
Saat tiba di Pramuka, hal pertama yang saya lakukan adalah mengedarkan pandangan, ke bibir pantai dan ke arah pemukiman. Sambil berkeliling pulau, saya mencari tahu apakah di sana ada gunungan sampah. Apakah sampah telah merebut pulau. Dan jawabannya tidak sama sekali. Tak ada tumpukan, apalagi gunungan sampah yang mengganggu pandangan mata.
 
“Masyarakat di sini sangat tanggap dengan sampah. Kalau ketemu sampah langsung dipungut,” ujar Bu Titin, ketua RW04 yang saya temui sore itu memulai cerita. 
 
 Kami bertemu di Rumah Hijau, sebuah bangunan dan areal yang menjadi pusat aktivitas warga dalam menjaga lingkungan di Pulau Pramuka. Menurut Bu Titin, sejak tiga tahun terakhir, kepedulian masyarakat Pulau Pramuka terhadap lingkungan terus meningkat. 
 
Apalagi sekarang, masyarakat sudah bersepakat untuk mengembangkan pariwisata yang lebih ramah lingkungan. Ecowisata. Masyarakat ingin, setiap wisatawan yang datang tidak hanya menikmati keindahan bawah laut di sekitar pulau tetapi juga menikmati kenyamanan dan keasrian lingkungan Pulau Pramuka.
 
Ketika ditanyakan pendapatnya mengenai kabar penyu yang mati di laut Kepulauan Seribu, Bu Titin sempat terdiam. Ia lalu berpendapat.
 
“Di pulau lain bisa jadi ada penyu mati, tetapi di sini penyu tak boleh mati. Kami akan menjaga pulau ini sehingga menjadi tempat nyaman untuk penyu hidup dan naik ke darat,” ujar Bu Titin.
 
Pulau Nol Sampah; Ibu-ibu di Pulau Pramuka menjadi pelopor gerakan bebas sampah
 
Melawan dari Laut
 
Bangkitnya kepedulian masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan hidup yang lebih hijau di Pulau Pramuka mulanya hanya berasal dari inisitif beberapa warga. Adalah Ibu Mahariah, guru Madrasah Ibtidaiah salah satu sekolah agama di Pulau Pramuka, yang memprakarsai gerakan penyelamatan lingkungan bagi warga.
 
Pada 2003, Bu Mahariah mulai terlibat dalam kegiatan Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP) yang diperkenalkan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Ia kemudian terpilih menjadi ketua. Bersama beberapa warga dan pegiat SPKP ia mulai menggalakkan upaya penyelamatan lingkungan terutama ekosistem laut di pinggir pantai.
 
Di masa-masa awal gerakan, program utama yang dikembangkan yaitu penanaman bibit bakau di sepanjang bibir pantai. Titik yang menjadi prioritas adalah bagian belakang pulau. Bakau diharapkan menjadi benteng pertahanan Pulau Pramuka dari terjangan gelombang pasang.
 
Selain menanam bakau, Bu Mahariah dan beberapa nelayan juga melakukan upaya konservasi biota laut. Mereka menyiapkan kolam biota yang terletak tak jauh dari dermaga. Kolam itu dibangun secara swadaya. 
 
Di kolam biota, nelayan mengumpulkan ikan-ikan hias dan ikan unik yang mereka temukan saat melaut. Selain menyelamatkan ekosistem, gerakan ini diharapkan bisa mendukung pengembangan Pramuka menjadi pulau tujuan wisata.
 
Menanam bakau menyelamatkan pulau; Bu Mahariah, Perempuan yang menggerakkan penanaman mangrove
 
 
Upaya menjaga kelestarian alam yang dilakukan Bu Mahariah dan beberapa warga pada mulanya menunjukkan hasil. Bakau yang ditanam tumbuh dengan subur. Beberapa penyu mulai suka naik ke darat dan bermain di sepanjang pantai yang ditanami bakau. Sampai akhirnya pada 2008, banjir besar melanda Jakarta. Jutaan ton sampah hanyut dan terbawa gelombang hingga ke Pulau Seribu.

Pramuka diselimuti sampah. Bakau yang mulai tumbuh dengan baik menjadi korban. Hijaunya tanaman bakau tertutup lautan sampah, warnanya mulai berubah. Tanaman mangrove itu rusak, lalu akhirnya musnah.
 
“Hampir semua mangrove yang kami tanam mati. Kondisinya sangat mengenaskan, membuat sedih bila dikenang,” ujar Bu Mahariah.
 
Banjir Jakarta dan rusaknya ekosistem, membuat perempuan kelahiran 1969 itu tersadar bahwa masalah utama pelestarian ekosistem laut ada pada sampah. Dia merasakan sekali betapa sampah telah meluluhlantakkan harapan. Maka mulai 2009 ia mengubah strategi. Selain melanjutkan program menghalau sampah dari laut lewat kerjasama dengan nelayan, ia memulai gerakan dari darat. Menggalang dukungan untuk bersama-sama melawan sampah.
 
Bu Mahariah kemudian memprakarsai lahirnya gerakan Laut Bukan Tempat Sampah (LBTS).  Bersama beberapa pegiat lingkungan yang tergabung dalam komunitas variabel bebas, Bu Mahariah menularkan semangat pelestarian dengan rutin mengadakan kelas iklim. Ia mengajak remaja dan anak-anak yang menjadi siswa dan murid mengajinya untuk terlibat dalam berbagai kegiatan penyelamatan lingkungan. 
 
Di darat, secara rutin anak-anak dan remaja menyisir dan memungut sampah-sampah yang ada di sepanjang bibir pantai. Sementara itu, nelayan yang sudah lebih dulu bergabung tetap dikerahkan untuk mengumpulkan sampah-sampah yang terbawa gelombang laut.
 
Laut Bukan Tempat Sampah; anak-anak dan remaja menjadi kelompok pionir gerakan melawan sampah di Pramuka
 
Gerakan ini terus berlanjut, sampai akhirnya Bu Mahariah melihat ada persoalan lain terkait sampah. Ternyata, sampah yang ada di bibir pantai tak hanya berasal dari laut. Ia bersama komunitas LBTS sering menemukan adanya sampah rumah tangga yang berasal dari warga setempat. Fakta itu diperkuat kenyataan bahwa ia beberapa kali menemukan warga yang kedapatan membuang sampah ke laut.


“Saya jadi berpikir bahwa mustahil kita melawan bila masyarakatnya masih banyak yang belum peduli dengan sampah,” ujar Bu Mahariah.
 
 
Ia pun mulai mensosialisasikan semangat melawan sampah mulai dari rumah tangga. Namun upaya ini tak semudah membalik telapak tangan. Pada mulanya sangat sulit mendapat simpati penduduk tentang gerakan melawan sampah. Sampah belum dianggap menjadi masalah besar. Ia bahkan sering mendapat cibiran dari warga. 
 
Bu Mahariah pun akhirnya putar otak. Kepada anak didik di tempat mengajar mengaji, ia menyebarkan semangat baru. Bu Mahariah meminta anak-anak mengumpulkan sampah di rumah, memilah dan membawanya ke tempat mengaji. Sampah yang sudah dipilah itu kemudian ditukar dengan berbagai benda seperti buku, tempat pensil dan keperluan sekolah. Tujuannya untuk bisa memancing semangat mereka.
 
Sampah yang sudah terkumpul didaur ulang menjadi aneka ragam kerajinan. Lewat program SPKP, Bu Mahariah kemudian mengadakan pelatihan pembuatan kerajinan dari barang bekas. Hal yang paling penting, kesadaran anak-anak dan remaja untuk mencintai lingkungan terus dibina dan dipelihara. 
 
Persuasif; Di kelas iklim, Bu Mahariah menularkan semangat cinta lingkungan kepada anak-anak di Pulau Pramuka
 
Ibu-Ibu yang Bergerak
 
Inisiatif mengajak anak-anak terlibat ternyata membuahkan hasil. Beberapa ibu-ibu mulai terlibat dan membantu anak-anak mengumpul dan memilah sampah. Mereka yang sebelumnya hanya melihat, mulai terlibat.
 
Ketertarikan beberapa ibu-ibu dalam mengelola dan memilah sampah, mendorong komunitas Laut Bukan Tempat Sampah mendirikan sebuah posko yang lebih representatif. Keinginan ini mendapat sambutan dari sejumlah pegiat lingkungan yang turut bergerak di Pulau Pramuka.
 
Komunitas LBTS yang makin luas kemudian mendirikan posko bersama yang mereka namai Rumah Hijau.
 
 
Rumah Hijau; Pusat aktivitas penyelamatan lingkungan hidup masyarakat Pulau Pramuka
 
Sesuai dengan namanya, di Rumah Hijau masyarakat melakukan kegiatan memilah dan mengolah sampah menjadi bahan daur ulang. Mulau-mula ada enam ibu-ibu yang terlibat. Lalu berkembang, sampai akhirnya sekarang tercatat lebih dari 40 orang ibu-ibu yang terlibat langsung dan tergabung dalam komunitas. Di luar jumlah itu juga ada warga yang menjadi peserta pasif. Hanya ikut bila ada kegiatan saja.
 
Di Rumah Hijau berbagai kegiatan digelar, terutama yang berkaitan dengan edukasi mengenai lingkungan dan pengolahan sampah. Pegiat lingkungan dari berbagai latar belakang kerap datang ke sini memberi pendampingan dan penyuluhan. 
 
Komunitas Jakarta Animal Aid Network yang tertarik dengan penyelamatan penyu di Pulau Pramuka termasuk salah satu yang banyak berperan. Selain itu juga ada mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang melakukan Kuliah Kerja Nyata di Pramuka.
 
“Di Rumah Hijau kita mencoba mengumpulkan aspirasi dari ibu-ibu. Apa yang menjadi keluhan mereka dan kendala dalam menjaga dan melestarikan lingkungan. Kami ingin membangun program yang datang dari bawah,” jelas Bu Mahariah.
 
Dari hasil tukar pendapat itu, tersaring beberapa keluhan ibu-ibu seperti mulai susahnya air tawar, harga sayur yang terus mahal dan tentu saja persoalan sampah. Aspirasi itu kemudian dibincangkan bersama untuk mencari solusi. Lewat rembug itu akhirnya disepakati bahwa Ibu-ibu harus lebih banyak terlibat.
Ibu-ibu; kelompok yang paling banyak berpengaruh di Pramuka
Di Pulau Pramuka, kelompok ibu-ibu termasuk kelompok yang berpengaruh. Berbagai kegiatan yang dilakukan biasanya didominasi oleh kelompok ibu-ibu.  Banyak keputusan penting di masyarakat yang dilaksanakan karena keputusan kaum Ibu. Karena itu, Bu Mahariah yakin, kehadiran Ibu-ibu dalam penyelamatan lingkungan Pulau Pramuka akan lebih memberi efek.
 
Lewat Komunitas Rumah Hijau, Ibu-ibu kemudian terus diberikan pengetahuan tentang cara menanam dan merawat mangrove. Kehadiran mangrove diyakini bisa mencegah abrasi pantai dan mengurangi masuknya air asin ke darat. Dengan begitu cadangan air tawar untuk berbagai kebutuhan harian masyarakat bisa dipelihara.
 
Di Rumah Hijau pula para ibu mendapat pelatihan secara intens mengenai cara mengolah sampah plastik. Kesadaran akan bahaya sampah membuat para ibu makin bersemangat untuk mengelola sampah dengan lebih baik. Untuk memacu semangat dan memberi nilai ekonomi kepada warga, mereka kemudian mendirikan bank sampah.
 
Di bank sampah, semua sampah yang sudah dikumpul dan dipilah warga ditimbang. Penimbangan biasanya dilakukan setiap hari Jumat. Yang menarik, sampah-sampah itu tidak dikumpul begitu saja, melainkan dikemas dalam botol plastik menjadi ecobrick. Sampah yang diperoleh digunting menjadi kecil-kecil sehingga muatan dalam satu botol plastik menjadi lebih banyak.
 
 
Bank Sampah; Lewat program bank Sampah, warga menukar sampah yang sudah dipilah. Kanan atas;gambar yang sudah dipilah dan dikemas dalam botol menjadi ecobrick, Kanan bawah : Buku tabungan sebagai bukti transaksi setoran dan tabungan di Bank Sampah
 
Ada dua jenis ukuran botol plastik yang dipakai yaitu 600 ml dan 1,5 liter. Setiap masyarakat yang membawa ecobrick akan dihargai sesuai ukuran dengan harga mulai dari Rp2.000. Setiap ecobrick yang disetor akan diukur dan diverifikasi oleh petugas bank saampah. Bila sudah memenuhi standar pengemasan baru bisa diuangkan. Ecobrick ini disimpan dan ditumpuk di rumah hijau. Bila ada pesanan, akan dijual ke luar pulau. Bila tidak akan diolah sendiri oleh anggota komunitas.
 
Ecobrick yang terkumpul kemudian didaur ulang menjadi bata dan aneka kerajinan. Rencananya bata hasil olahan ecobrick dan styrofoam, akan digunakan untuk pembangunan pusat penjualan oleh-oleh pulau Pramuka dan juga pebangunan beberapa bangunan pendukung aktivitas Rumah Hijau.
 
Selain bisa dijadikan bata, ecobrick yang telah terkumpul juga bisa digunakan untuk bahan dasar pembuatan souvenir dan cenderamata. Ecobrick yang ada dihancurkan dan dicampur dengan styrofoam beserta campuran zat kimia. Setelah itu dibentuk menjadi hiasan gambar lukisan timbul yang dibuat di atas triplek. Setelah kering, di cat dengan aneka warna.
 
Saat ini, cenderamata berbahan ecobrick dan styrofoam masih dibuat dalam jumlah terbatas. Biasanya baru dibuat dalam jumlah banyak bila akan ada kunjungan atau pameran. Tak hanya ibu-ibu, warga lain pun juga terlibat.
 
Olahan sampah: Bu Titin, Ketua RW 04 Pulau Pramuka menunjukkan cenderamata dan bata yang diolah dari bekas stereofome dan ecobrick
 
Selain menggalakkan program Bank Sampah, ibu-ibu juga sering melakukan kegiatan Gerebek Sampah. Lewat kegiatan ini, para ibu berkumpul dan berkeliling ke penjuru pulau untuk mengajak warga lain turut memilah dan mengolah sampah. Pada program Gerebek Sampah biasanya juga dilakukan pembagian kantong sampah untuk memudahkan warga memilah.
 
Beraneka manfaat yang sudah diperoleh warga membuat semangat untuk mengolah sampah yang ada semakin nyala. Gerakan yang semula sebatas Laut Bukan Tempat Sampah berkembang menjadi lebih besar. #PulaukuNolSampah. Begitu tekad yang ingin diwujudkan para ibu-ibu dan warga Pramuka.
 
Bu Bunyani, salah seorang anggota Komunitas Rumah Hijau mengaku sangat merasakan manfaat setelah ia bergabung menjadi anggota. Sekarang ia menjadi banyak pengetahuan dan pengalaman tentang cara bertanam sayuran. Ia juga belajar banyak tentang cara membuat souvenir berbahan dasar sampah.
 
Menurut Bu Buniyani, ia kini juga sudah punya tabungan dengan jumlah lumayan dari hasil menabung sampah. 


“Jumlahnya lumayan kalau diuangkan, tapi sekarang mau disimpan dulu saja untuk keperluan tak terduga.”  
 
Ketok tular: Lewat program Gerebek Sampah, ibu-ibu menularkan semangat untuk melawan sampah pada ibu rumah tangga lain di Pramuka, Foto: Istimewa


Menjadi Kampung Berseri

Bergerak dan berubah. Dari hari ke hari, semangat warga untuk melakukan perubahan mewujudkan kampung yang lebih hijau dan asri semakin menunjukkan hasil. Makin banyak saja ibu-ibu yang terlibat. 
 
Rumah-rumah di Pramuka mulai melakukan penghijauan kecil-kecilan. Pada sisa tanah yang ada di halaman mereka menanam aneka bunga dan tanaman obat-obatan, Hal itu membuat suasana kampung menjadi lebih asri dan hijau. 
 
Berkebun: Warga memanfaatkan sisa tanah yang ada untuk menanam bunga dan sayur. 
 
Di tengah geliat masyarakat mengelola lingkungan menjadi semakin ramah, PT Astra Internasional lewat Community Social Responsibility datang menawarkan kemitraan. Dalam konsep kemitraan ini, Astra membantu di bidang pendampingan.
 
Pada mulanya, tak hanya Pramuka yang dilirik untuk dipinang menjadi mitra Kampung Berseri. Saat itu juga ada pulau lain di Kepulauan Seribu yang diminati. Namun, karena melihat peran aktif masyarakat dalam berbagai aktivitas di bidang lingkungan, Astra pun memilih Pramuka. 
 
Gerakan #PulauNolSampah dianggap sejalan dengan semangat perusahaan yang ingin mewujudkan perubahan lingkungan. Pada 2015, Astra secara resmi menetapkan Pulau Pramuka menjadi satu dari 77 Kampung Berseri Astra yang tersebar di seluruh Indonesia.  
 
“Sejak Astra datang, kami selalu tekankan bahwa kami tak butuh bantuan dana. Kalau mau bermitra kami mau dibantu dengan mendatangkan fasilitator dan pelatihan,” ujar Bu Mahariah.

Kehadiran Astra menambah suntikan semangat warga. Para Ibu makin terdorong untuk melakukan perubahan. Tak hanya di bidang lingkungan, masyarakat mulai berpikir untuk mewujudkan ketahanan pangan. Permasalahan kelangkaan sayuran yang selalu menjadi masalah mulai dibicarakan.
 
Pemberdayaan: Ibu-ibu terlibat aktif berkebun sayur secara hidroponik, pemeliharaan kelinci, dan berlatih membuat kerajinan dari bahan olahan sampah
 
Setelah rembug bersama, ibu-ibu yang tergabung di komunitas Rumah Hijau kemudian membuat kebun hidroponik tanaman sayur-sayuran. Ada cabe, sawi, terong dan tomat.  Menurut Bu Titin, selain kebun hidroponik, di Rumah Hijau juga dikembangkan pemeliharaan kelinci. Selain untuk konsumsi warga, kelinci tersebut juga dijual.
 
         “Kami mulai mendorong anggota untuk mewujudkan semangat berwirausaha,” ujar Bu Titin.
 
Untuk memastikan kesuburan lahan hidroponik, para ibu-ibu membuat  pupuk kompos dengan memanfaatkan sampah organik dari limbah rumah tangga. Untuk pembuatan dan pengolahan mereka mendapat pelatihan dari instruktur yang berpengalaman. Selain pembinaan, warga diberi komposter dan medium pembuatan yang membantu mempermudah pembuatan pupuk kompos.
 
Selain untuk kebutuhan menyuburkan tanaman di Rumah Hijau, kompos yang sudah diproduksi juga disebar kepada para anggota dan warga. Kompos itu bisa digunakan untuk menyuburkan tanaman dan menghijaukan pekarangan.  
 
Rencananya, tahun 2019, produksi kompos ini akan diperbanyak sehingga warga berencana mendirikan rumah kompos. Untuk kebutuhan air bersih warga, Astra membantu menyediakan bak penampungan air hujan di beberapa rumah. Warga juga didorong untuk membuat lubang biopori untuk memperbanyak daerah resapan air sekaligus untuk pembuatan kompos sederhana. 
 
 
Kompos dan lubang Biopori : masyarakat mengolah sampah organik menjadi kompos di Rumah Hijau dan juga melalui lubang biopori. Kompos digunakan untuk menyuburkan tanaman baik yang dikelola bersama ataupun secara mandiri di rumah warga
 
Semangat penghijauan yang dibangun warga kini bisa dirasakan seluruh warga Pulau Pramuka. Ketika berkeliling ke rumah warga, saya mendapati gang-gang yang penuh dengan tanaman hijau. 
 
Menurut Bu Titin yang menemani saya berkeliling sore itu, saat ini masyarakat bersama pemerintah daerah tengah mengembangkan Pramuka menjadi kampung ekowisata. Nantinya, para wisatawan yang datang, tidak hanya menikmati pemandangan bawah laut tetapi juga menikmati wisata sosial dan budaya dengan menikmati perjalanan berkeliling pulau dan berinteraksi dengan warga.
 
“Kami ingin pembangunan wisata di sini menjadi lebih ramah dan bernilai budaya.”
 
Tak hanya di bidang lingkungan, kehadiran Astra di Pramuka juga dirasakan warga pada sektor lain. Di bidang pendidikan, perusahaan yang bergerak dalam berbagai sektor di tanah air itu menyalurkan beasiswa bagi siswa SD hingga SMA. Sedangkan untuk meningkatan kualitas sumber daya manusia,  beberapa guru PAUD dikirim ke Jakata untuk  mengikuti pelatihan.
 
Di tempat pelatihan mereka bisa berinteraksi dengan guru PAUD dari berbagai wilayah di tanah air. Selain itu para guru juga diajak untuk ikut studi banding ke sejumlah sekolaah binaan Astra yang telah dianggap memenuhi kurikulum dan standar pendidikan nasional.  
 
Di bidang kesehatan juga tak terlupa. Salah satu program yang dijalankan adalah pembinaan posyandu baik  untuk anak dan balita ataupun lansia.  Pada 2015, Astra juga membangun Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) yang terletak tak jauh dari dermaga. 

Selain dilengkapi area bermain, di sini anak-anak juga bisa mengenal dan belajar mengenai aturan berlalu lintas. Juga ada ruang serbaguna dan perpustakaan yang bisa dimanfaatkan anak-anak untuk membaca sambil bermain.
 
RPTRA Elang Pramuka: Salah satu sudut pulau yang memanjakan anak-anak untuk bermain bereksplorasi dan belajar
 

Menginspirasi Hingga Pelosok Negeri

Semangat dan kerjasama para ibu-ibu menjaga lingkungan menjadikan Pramuka menjadi semakin maju dibanding beberapa kampung lain di Kepulauan Seribu. Dari hari ke hari, komitmen mewujudkan #PulaukuNolSampah menjadikan Pulau Pramuka menjadi kampung percontohan. Tidak hanya dalam pengolahan sampah tetapi juga dalam pengembangan pembangunan lingkungan.
 
Sejak 2016, banyak instansi dan lembaga yang datang ke Pramuka. Mereka ingin melihat langsung bagaimana pengolahan sampah yang sudah dilakukan di Rumah Hijau. Para tamu bisa belajar langsung mengenai pembuatan bata dan souvenir berbahan sampah dan ecobrick.
 
Di Pramuka, wisatawan juga bisa belajar bagaimana cara pembuatan kompos, dan terlibat dalam penanaman bakau. Masyarakat melalui komunitas Rumah Hijau akan mendampingi aktivitas selama berada di Pramuka dengan menyiapkan paket ekosiwata dan edutrip. 
 
 
Edutrip: Komunitas Rumah Hijau memfasilitasi wisatawan untuk merasakan wisata lingkungan, memadukan alam dan pendidikan. Peserta akan diajak berkeliling pulau dan merasakan sendiri pengelolahan sampah menjadi kompos dan benda daur ulang.
 
Bila beruntung, wisatawan juga bisa berinteraksi dengan penyu-penyu yang biasa naik ke pantai pada malam hari. Sejak tanaman mangrove mulai menutupi bagian belakang pantai Pulau Pramuka, penyu-penyu mulai berdatangan.
 
Keberadaan Pulau Pramuka yang termasuk dalam wilayah Taman Nasional Pulau Seribu membuat masih banyak penyu yang hidup di sini. Ditambah lagi, di Pulau Pramuka juga terdapat kolam penangkaran penyu. 
 
Saat ini, BKSDA dengan bantuan anak perusahaan Astra tengah membangun ulang kolam penangkaran penyu untuk kepentingan konservasi menjadi lebih representative dan atraktif sehingga bisa menjadi daya tarik wisatawan.
 
Dibangun ulang; PT Astra Daihatsu Motr sebagai bagian dari Grup Astra Internasional berperan dalam pembangunan ulang kolam konservasi penyu yang terletak di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu
 
Usaha dan semangat Bu Mahariah membangun kesadaran warga untuk lebih peduli pada lingkungan pun mendapat apresiasi. Pada Agustus 2017, ia terpilih menjadi perempuan penerima anugerah Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diserahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo. 
 
Pada tahun berikutnya, tepatnya akhir Oktober 2018, giliran RW 04 Pulau Pramuka yang mendapat penghargaan sebagai Kampung Pro Iklim dari kementerian Lingkungan Hidup. Penghargaan itu diserahkan langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pada Bu Titin selaku Ketua RW 4. 
 
Tak hanya dari pemerintah, dalam beberapa lomba yang digelar Astra, KBA Pulau Pramuka sering terpilih sebagai pemenang. Salah satunya adalah lomba mengolah buah langka dan juga lomba kampung sehat. 
 
“Hasil tidak pernah mengingkari proses. Penghargaan ini menjadi motivasi bagi ibu-ibu di sini untuk semakin peduli dan bergerak bersama mewujudkan #PulaukuNolSampah<” ujar Bu Titin.
 
Apresiasi : Upaya dan dedikasi masyarakat Pramuka ditambah dukungan penuh dari Astra lewat program Kampung berseri, mengantarkan pada prestasi tinggi. Kanan atas: Bu Mahariah saat menerima Kalpataru.Kanan Bawah : Bu Titin mewakili masyarakat RW 4 Pulau Pramuka menerima anugerah Kampung Proklim. 
 
Di tengah apresiasi dan dukungan dari banyak pihak, ibu-ibu pulau Pramuka tak menyurutkan langkah. Sebuah rencana lebih besar dalam tata kelola sampah tengah disiapkan. Saat ini, Bu Mahariah bersama beberapa pengurus rumah hijau tengah menyiapkan standar operasional pengolahan sampah untuk skala yang lebih besar.
 
Memasuki 2019, Rumah Hijau akan memulai babak baru. Mereka telah menandatangani nota kesepahaman dengan Dinas Kebersihan Kepulauan Seribu mengenai pengolahan sampah. Bila tidak ada aral, setidaknya 60% sampah di Pulau Pramuka akan diolah di Rumah Hijau menjadi kompos dalam skala produksi yang lebih besar. Sedangkan sampah non organik akan diolah menjadi bata untuk pembangunan beberapa fasilitas publik.

“Kita akan coba jalankan, mengolah sampah dari hulu. Mengurangi beban Jakarta, dari gunungan sampah yang tak pernah sirna,” ujar Bu Mahariah.  
 
 
 
 
Bagaimanapun, upaya mewujudkan kampung asri dan berseri yang digerakkan ibu-ibu di Pulau Pramuka merupakan pemantik yang siap meletupkan semangat bagi masyarakat di seluruh penjuru negeri.
 
Hal yang lebih utama lagi, bahwa sampah adalah tanggung jawab semua pihak. Menjadi persoalan besar yang harus dilawan bersama. Bila ibu-ibu di Pulau Pramuka bisa bergerak melawan sampah, mengapa kita tidak.  #PulaukuNolSampah, #IndonesiakuLawanSampah. ***


Komitmen menjaga pulau. Bersama melawan sampah. #PulaukuNolSampah
 
 
 
 
Foto : Dokumen pribadi dan istimewaÂ