Gerakan Literasi dari Kaki Semeru
Media Online https://www.terakota.id/gerakan-literasi-dari-kaki-semeru/
Oleh: Eko Widianto , 31 December 2018Kategori: Wartawan (terakota,id)

Gerakan Literasi dari Kaki Semeru

Terakota.id--Sepuluh anak duduk meriung di sebuah gubuk berdiri di depan rumah  Febri Firmansyah alias Lukas, 34 tahun. Gubuk dari batang bambu dan atap ilalang. Gubuk yang dikenal dengan sebutan gubuk baca gang tato. Terletak di kawasan perkampungan kaki Gunung Semeru. Kedua tangan mereka memegang sebuah buku, aneka buku dilahap mulai majalah sampai pelajaran sekolah.

Salah satunya Aril, siswa kelas empat Sekolah Dasar ini membaca buku ilmu pengetahuan alam. Sorot mata menatap tajam baris demi baris tulisan. Menghayati isi buku, sesekali membacanya dengan keras dan lantang. Sementara empat teman sebayanya juga larut dalam buku bacaan, sebagian memilih bermain aneka permainan tradisional. Ada congklak, egrang, gasing dan yoyo.

Bangunan gubuk yang terbuat dari bambu ini nyaman bagi anak-anak, mereka bisa melahap aneka buku dan bermain bersama. Mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam di gubuk baca, sebuah rak buku yang menyimpan sekitar 200 eksemplar buku menjadi salah satu magnetnya. Gubuk selebar dua meter dan panjang enam meter ini dilengkapi beragam ornamen dan hiasan yang menarik.

Mulai kertas origami, aneka kerajinan bekas botol plastik sampai topeng karakter panji khas Malang berbahan kertas menempel di dinding. Aril rutin saban hari mengunjungi gubuk baca bersama teman sebayanya. Kegembiraan dan keceriaan tersirat dari pancaran wajah mereka saat memilah buku di rak.

Selain membaca buku, mereka juga mendapat bimbingan belajar. Sejumlah mahasiswa silih berganti datang untuk memberikan bimbingan. Agar para siswa bisa menyerap pelajaran sekolah dan menyelesaikan tugas sekolah. “Senang, suka membaca majalah dan komik,” kata Aril.

Dia biasa menghabiskan waktu di gubuk baca sepulang dari sekolah mulai pukul 13.00 sampai 16.00 WIB. Malam hari, usai salat isya dan mengaji mereka juga berkumpul di gubuk baca. Orang tuanya juga lebih tenang, mereka tak lagi bermain jauh dari rumah.

Gubuk baca dibangun para pemuda desa bergotong rotong sejak dua tahun lalu. Sekitar delapan pemuda jengah dengan stigma negatif yang terlanjur melekat di kampungnya. Pemuda setempat dikenal sebagai anak nakal, suka mabuk-mabukan, tawuran dan sekujur tubuhnya dipenuhi tato. Sebagian bahkan harus berurusan dengan polisi, maklum gang tato hanya selemparan baru dari kantor polisi.

“Warga luar menyebut kampung ini dengan gang tato,” kata  Febri Firmansyah. Gang tato terdiri dari 45 keluarga, dulu pemuda desa menghabiskan waktu dengan minum-minuman keras termasuk merajah tubuhnya dengan tato. Tato tak dikerjakan tenaga profesional, mereka belajar otodidak membuat tato secara bergantian.

Lukas merajah sebagian lengannya dengan tato, dia tertarik membuat tato karena pergaulan. Lingkungan sekitarnya, kakak-kakaknya juga bertato. Gara-gara dianggap nakal itulah, dia kesulitan bergaul dengan anak yang baik. Dia kerap dipandang sebelah mata. Rata-rata pemuda desa tamatan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.

“Kenakalan ini diwariskan turun temurun. Sampai kapan akan terus begini?,”tanyanya. Lukas tak ingin mewariskan sesuatu yang buruk bagi adik-adiknya, serta memutus mata rantai kenakalan. Melalui jejaring media sosial, dia berkomunikasi dengan banyak komunitas termasuk penggagas Gubuk Baca Lentera Negeri Fachrul Alamsyah yang akrab disapa Irul. Gayung bersambut, Irul rutin membuka perpustakaan keliling di desa sekitar jabung. Akhirnya Irul mampir ke gang tato.

Menempati halaman rumah Lukas, digelar sekitar 100 an aneka buku untuk anak-anak. Puluhan anak-anak menyambut dengan suka cita, membaca semua buku yang tersedia. Anak-anak tak puas hanya membaca sehari, akhirnya Irul merelakan sebagian buku koleksinya ditinggal. Lantas Lukas dan pemuda desa lain berinisiatif membangun gubuk baca di halaman rumah Lukas.

Para pemuda yang bekerja sebagai buruh tani, sopir, dan pengamen ini meluangkan waktu di sela-sela kesibukannya bekerja. Mereka juga tak lagi menjamah minuman keras, tak tawuran maupun berjudi seperti sabung ayam jago. Lingkungan juga mendukung langkah Lukas.

Anak-anak jarang bermain gawai atau gadget dan lebih memilih bermain dengan teman sebaya untuk membangun karakter pribadi. Suprianto alias Kampret juga menggali alat musik tradisional seperti Karinding.  Alat musik khas Sunda ini mereka mainkan di sela-sela anak-anak belajar dan membaca buku.

Geliat Seni Tradisi Topeng Malangan

Irama gending Gunung Sari sayup terdengar dari bilik kamar Muhammad Sugeng alias Lihonk, 33 tahun. Sembari mendengar gending, Tangan kanannya lincah memegang pahat. Ia telaten memahat kayu menjadi topeng karakter Gunung Sari.

Lihonk tengah menghafal gerakan tari dengan gending yang mengiringi. Ia tengah bersiap untuk menari dalam pertunjukan malam pergantian tahun di kampungnya. Selain membuat topeng, Lihonk juga berperan sebagai penari topeng. Topeng Gunung Sari.

Gunung Sari merupakan karakter penting dalam epos Panji. Sosok seorang satria putra raja Daha Kediri. Gerakkannya luwes cenderung keputri-putrian.  Lihonk belajar membuat topeng atas dorongan Irul saat di gubuk baca.

Ia juga terpesona topeng Malang semenjak menonon pertunjukan topeng Malang di Kedungmonggo, Pakisaji, Kabupaten Malang. Sejauh 25 kilometer dari kampungnya. Ia terakhir menonton wayang tari topeng saat SMP. Kini, lama tak ada pertunjukan di kampungnya.

Sejak saat itu, ia tertarik belajar membuat topeng secara otodidak. Caranya, dengan melihat foto topeng. Namun, ia tak puas lantaran karakter Dewi Sekartaji yang dihasilkan tak sempurna. Topeng itu tetap disimpan sebagai koleksi. Tak disangka ternyata di sebelah kampung ada Mbah Parjo, 70 tahun, yang piawai membuat topeng dan menari topeng Malang.

Tak hanya diajarkan membuat topeng, Lihonk juga menari topeng. Khususnya menari karakter putri seperti Dewi Sekartaji.  Ia mengaku paling sulit membuat karakter topeng putri. Karakter topeng Malang, katanya, perpaduan antara wayang dan wajah manusia.

Latar belakang sebagai seniman tato, melukis dan membuat dekorasi pernikahan membantunya belajar membuat topeng dengan cepat. Tubuhnya ditato sejak SMP dan mulai SMA mengenal seni tato dengan membuat tato teman. Lengan dan kakinya berbalut tato.

Kini, ia menerima pesanan topeng berbagai karakter untuk menari atau cinderamata. Setiap topeng bisa diproduksi selama dua sampai empat hari. Ia menggunakan kayu pule dan mentaos untuk menari topeng, sedangkan cinderamata menggunakan bahan baku kayu sengon.

“Topeng untuk menari seharga Rp 300 ribu, sedangkan cinderamata Rp 150 ribu sampai Rp 200 ribu,” katanya. Ia mengaku kerap kewalahan untuk memenuhi pesanan. Kini, ia dibantu dua temannya untuk membuat topeng di bilik kamar yang disulap menjadi workshopnya.

“Mereka saya racuni untuk belajar membuat topeng,” katanya. Ia juga melatih anak-anak muda di gubuk baca menari topeng. Teman sebayanya yang dulu suka minum telah berhenti dan beralih menjadi perajin topeng. Sebanyak sembilan anak telah melatih dan menularkan keterampilan menari di gubuk baca dan sekolah dasar. Bagi dia, membuat topeng merupakan panggilan hidup.

Kini, ia juga tengah menyiapkan anak muda setempat untuk menggelar pertunjukkan bersama. Ia juga bermimpi suatu saat muncul kelompok seni wayang topeng Malang. Sebuah pertunjukan wayang topeng Malang mengangkat epos Panji. Tak sekadar menari dengan karakter tertentu.

Keterampilan membuat topeng, katanya, tak terlepas dari aktivitas di gubuk baca. Bersama Irul, ia terhubung dengan seniman dan perajin topeng. Sehingga bisa mengeksplorasi kekayaan dan karakter topeng. Kini, ia tengah membuat topeng dengan ornamen dan ukiran karakter karya Mbah Buyut Reni. Seorang maestro topeng Malang asal Polowijen, Kota Malang.

“Sekarang ada ukiran topeng Jabung, Tumpang dan Pakisaji. Padahal dulu sumbernya ya topeng Mbah Reni Polowijen,” ujarnya.

Menebar Virus Literasi

Irul memulai gerakan literasi sejak 2014. Dimulai dengan membuat sebuah gubuk di samping rumahnya di Desa Sukolilo, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang. Tanpa satu lembar buku yang dikoleksi di Gubuk Baca Lentera Negeri ini. Dua pekan kemudian, dua kawan sesama pendaki gunung hadir di rumahnya.

Mereka memanfaatkan jaringan, membuat gerakan literasi di kampungnya. Sejumlah teman membawa aneka buku bacaan anak. Ia ingin mewujudkan mimpi 15 tahun lalu, saat tengah berkuliah untuk membuat sekolah alam. Terinspirasi dari Kandang Jurang yang dibidani Dik Doang.

Mimpi itu disimpan dalam hati, bahkan nama panggilannya bersalin menjadi Icroel Doank termasuk di semua akun media sosialnya. Sebagai bentuk doa agar mimpinya bisa terwujud seperti Dik Doank. “Sampai sekarang belum pernah bertemu Dik Doang,” katanya.

Ia berharap gubuk baca menjadi tempat menyenangkan. Sebelumnya, Irul selama dua tahun mengajar sukarela di sebuah madrasah swasta di tetangga kampung. Menjadi relawan, tak dibayar.

“Gubuk tak murni hanya untuk meningkatkan minat baca saja. Gubuk baca ini pintu masuk untuk pemberdayaan masyarakat,” katanya.

Gubuk baca menjadi pusat kreativitas anak mulai bermain permainan tradisional, menggambar, mewarna, bermusik, hingga menari tarian tradisi seperti tari topeng Malang. Kerasan, anak-anak datang untuk bermain dan membaca.

Irul juga berkeliling kampung membawa buku, permainan tradisional dan instrumen musik. Menggerakkan pemuda di kampungnya untuk membuat kegiatan positif. Kini, selama empat tahun sebanyak 18 gubuk baca di kampungnya. “Gubuk baca menular ke sejumlah kampung, seperti virus,” ujar Irul.

Gubuk baca, katanya, menjadi wadah untuk mencetak pemimpin, agen perubahan, dan pelaku perubahan. Sehingga beragam kegiatan positif dilahirkan di gubuk baca, Melibatkan pemuda dan orang tua. “Sehingga lingkungan menjadi sehat, kenakalan remaja berkurang. Gubuk menjadi tempat bermain yang edukatif,” katanya.

Irul membawa beragam kebutuhan anak-anak dan remaja untuk menggerakkan gubuk baca. Mulai buku, permainan tradisional dan instrumen musik. Instrumen musik, seni tari dan menggambar, kata Irul, juga sama dengan buku. Buku tanpa teks.

Tak hanya mengerakkan literasi, tetapi juga menumbuhkan empati, kepekaan sosial, kepedulian terhadap lingkungan, dan upaya berbagi dengan sesama. “Percuma kutu buku percuma tapi tak memiliki empati dan peduli terhadap lingkungan. Saya tak memaksa anak-anak untuk membaca,” ujarnya.

Kini, ia tengah menyiapkan setiap gubuk memiliki produk kreatifitas unggulan. Seperti batik dan topeng. Disesuaikan dengan potensi yang ada. Ia bermimpi Sukolilo menjadi objek wisata edukasi. Tak hanya menyediakan cindera mata, dan oleh-oleh tetapi ada edukasi yang dibagi kepada para tamu yang datang.

“Tamu pulang membawa ilmu, dan bekal untuk berbagi kepada yang lain,” ujarnya. Untuk menyiapkan kebutuhan itu, Sukolilo didampingi Astra melalui Kampung Berseri Astra. Menurut Irul Astra mendampingi dan memfasilitasi untuk mengembangkan kerajinan seperti kriya seni yang bisa berkembang menjadi ekonomi produktif.

Gubuk juga akan menjadi agen bank sampah. Selain itu, juga akan mendirikan tempat pengolahan sampah termasuk membuat kerajinan berbahan sampah plastik dan kertas. Sampah menjadi masalah besar di kampungnya. Di tepi pintu masuk Desa Sukolilo menumpuk sampah rumah tangga. Masyarakat setempat membuang sampah sebarangan termasuk membuang di sungai.

Secara bertahap, katanya, gubuk baca akan mengolah dan menciptakan bank sampah. Menabung sampah agar tak dibuang sembarangan. Targetnya, masyarakat lebih peduli dan mengolah maupun mendaur ulang sampah yang dihasilkan.

“Harus dimulai dari rumah masing-masing,” ujarnya.

 

 

 

 

 

 

 

Â