Merajut Indonesia dari Pedalaman Papua
Oleh: Muh. Khoirul Anwar , 2023-11-06 23:24:06Kategori: Umum (https://www.khoirulanwar.com/merajut-indonesia-dari-pedalaman-papua/)Media Online
https://www.khoirulanwar.com/merajut-indonesia-dari-pedalaman-papua/

Merajut Indonesia dari Pedalaman Papua

Oleh: Muh. Khoirul Anwar

 

“Yang membedakan kita dengan mereka  yang tinggal di daerah adalah kesempatan. Indonesia akan maju dan berkembang  bila penduduknya diberi kesempatan yang sama  dalam mengenyam pendidikan yang baik.”

 (Michael D. Ruslim/ CEO Astra 2005-2010)

 

September 2014. Hatinya remuk redam diliputi dilema. Ia harus memilih antara melanjutkan kuliah atau berhenti di tengah jalan. Sang Ibunda, yang hanya berprofesi sebagai pedagang kelontong di sudut kecil Atambua, sudah tak sanggup lagi membiayai anak gadis sulungnya. Padahal saat itu ia baru menginjak semester III. Mimpi si sulung untuk menapaki jenjang pendidikan setinggi-tingginya nyaris pupus dihantam situasi ekonomi keluarga yang sangat tak bersahabat.
 
Ia coba berbagai upaya agar mimpinya tak sirna di usia yang masih sangat belia.  Tapi ia juga sadar harus berbagi "jatah pendidikan" dengan adik semata wayangnya. Maka, tekad dan niat kuat kembali ia bulatkan. Ia yakin, semesta akan senantiasa berpihak pada mereka yang tulus dan bersiteguh dalam memeluk serta mewujudkan mimpi-mimpinya. Ia jajaki berbagai kemungkinan agar tetap bisa duduk di bangku kuliah. Dari mulai mengais-ngais beasiswa Pemerintah Daerah hingga menjadi panitia di berbagai kegiatan kampus. Ia tak mau menyerah pada takdir yang kalah. "Apapun yang terjadi, aku harus tetap kuliah", batinnya kala itu.
 
Tuhan menjawab doa dan kegigihan gadis itu. Satu-persatu onak duri kesulitan yang menghambat mulai terurai. Jalan terang ke depan lamat-lamat mulai terlihat jelas, kendati amat lambat dan merambat. Sampai datanglah hari indah yang dinantikan itu: November 2017 ia diwisuda oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Nusa Cendana Kupang. Setelah melewati sekian banyak aral melintang yang begitu terjal, ia resmi menyandang gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) program studi Pancasila dan Kewarganegaraan.
 
Nama gadis tegar itu adalah Diana Cristiana da Costa Ati. Perempuan kelahiran 12 Agustus 1996 itu merupakan sulung dari dua bersaudara. Ia lahir di Timor Leste (saat itu masih Timor Timur, Indonesia). Saat usianya menginjak 3 tahun, ia harus menelan pil pahit. Referendum yang digelar dan pada akhirnya memisahkan Timor Timur dari Indonesia memaksa keluarga mungilnya turut serta ikut retak. Praktis sejak saat itu, ia hanya tinggal bersama Ibu dan adiknya di Atambua, NTT. Dari peristiwa perih itu pula, ketegaran Diana terasah hingga dewasa.
 
Dari masa kanak hingga usia remaja, ia mengenyam Sekolah Dasar dan Menengah di kampung masa kecilnya. SDN TINI Atambua dan SMPN 2 Atambua tercatat sebagai dua sekolah dimana ia mulai mengeja aksara dan angka. Lantaran prestasi akademiknya yang cemerlang, Diana sanggup melanjutkan jenjang sekolah atas di  SMAN 1 Atambua, SMA paling favorit di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.
 
Selepas SMA, sebenarnya Diana sudah mengalami kegamangan yang tak terperi. Gamang antara memilih melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau langsung bekerja membantu Ibu yang kian menua dan ringkih. Sebab bagaimanapun ia tidak terlahir dari kultur keluarga yang menganggap pendidikan sebagai media peluhur kehidupan, apalagi posisinya adalah perempuan. Ia lahir dari kultur patriarkis yang kurang ramah terhadap perempuan. Kendati demikian, semangat untuk mengikis mata rantai tradisi itu membajakan tekadnya untuk terus mereguk pendidikan hingga ke taraf yang paling maksimal. 
 
Diana memang menaruh perhatian yang begitu tinggi terhadap ketimpangan pendidikan dalam segala lini dan tingkatan. Baik ketimpangan yang dilahirkan oleh tradisi, agama, maupun sistem kebijakan yang tak berpihak pada mereka yang termarjinal dan hidup di tapal perbatasan. Inilah alasan mengapa ia mengambil jurusan pendidikan ketika kuliah. Ini pula yang akan menjadi kemudi hidupnya kelak mengapa ia memilih jalan samurai menjadi "pahlawan tanpa tanda jasa" di pelosok nun jauh di pedalaman Papua. Dari titik ini pula semua kisah heroik tentang Diana bermula.
 
Mengabdi di Bumi Papua
 
Seusai resmi memakai toga, Diana bersikukuh hendak mengamalkan ilmunya bagi mereka yang kurang beruntung dan tak tersentuh kebijakan –sebuah cita yang ia canangkan sejak dulu. Ketika nyaris seluruh teman sejawatnya memilih peruntungan eksodus dan meniti karir di tengah gemerlapnya kota-kota, Diana justru meneguhkan hati untuk segera bergegas ke pedalaman Papua yang pekat gulita. Ke sebuah destinasi dimana pendidikan belum mendapat tempat sebagaimana mustinya.
 
“Kalau di NTT tempat saya tumbuh dan berkembang, 70% kebutuhan guru sudah terpenuhi bahkan hingga ke pelosok batas. Tetapi untuk Papua situasinya adalah sangat amat kekurangan guru. Karena memang banyak yang tidak kuat melewati seleksi alamnya. Bayangkan, siapa yang mau tinggal bertahun-tahun di pedalaman tanpa pasokan listrik dan sinyal telekomunikasi yang memadai?”, terangnya pada penulis (05/11).
 
Maka, berbagai informasi ia kais untuk menunjang pengabdiannya ke bumi Cendrawasih bisa terwujud sesegera mungkin. Setelah berselancar dan berkomunikasi ke banyak pihak, pencahariannya tertumbuk pada program Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) yang digagas oleh Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Pusat Pengembangan Kapasitas dan Kerjasama (PPKK) Fisipol UGM, dan bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Mappi, Papua.
 
Program ini diinisiasi oleh UGM sejak tahun 2013 dengan embrio bernama Guru Perintis. Ini digalakan sebagai kontribusi nyata UGM demi meningkatkan kualitas SDM masyarakat Papua. "Program ini hadir untuk merespon rendahnya kualitas pendidikan di Papua yang disebabkan minimnya jumlah guru dan sarana-prasarana pendidikan. Tujuan intinya adalah mengejar ketertinggalan Papua di bidang pendidikan", terang Ketua Gugus Tugas Papua UGM, Drs. Bambang Purwoko, M.A., (ugm.ac.id).
 
Terbukti, program GPDT mampu mendongkrak dampak positif bagi pemerintah daerah di Papua. Di Kabupaten Puncak misalnya. Merujuk data BPS, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Puncak tahun 2016 mencapai 39,96 persen, meningkat 2,23 persen dari IPM tahun 2013. Angka Melek Huruf juga meningkat 4,65 persen antara tahun 2013 hingga 2016. Tak hanya itu, Harapan Lama Sekolah Kabupaten Puncak juga meningkat dari 4,04 tahun 2013 menjadi 4,48 pada tahun 2016.
 
Setelah mendapat informasi dan menelaahnya secara seksama, Diana mantap mendaftar program GPDT pada gelombang kedua tahun 2018. Serangkaian seleksi yang panjang dan melelahkan Diana jalani hingga memakan waktu nyaris tiga bulan. Orang-orang pintar dari UGM didatangkan langsung ke kota Kupang guna menyeleksi talenta-talenta samurai tahan banting yang siap mengabdi di jantung inti Ibu Pertiwi.
 
Dari sekian banyak peserta yang mendaftar dan mengikuti rangkaian seleksi ketat GPDT di kota Kupang, akhirnya tiga nama berhasil dinyatakan lolos dan berhak mengabdi di Kabupaten Mappi, Papua. Mereka adalah Oktavianus Halla, Fransisca Berre, dan Diana sendiri. Sedangkan secara keseluruhan, sejak 2017 pemerintah Kabupaten Mappi bekerjasama dengan UGM telah menyalurkan 446 GPDT ke segala penjuru desa pedalaman Mappi yang nasib pendidikannya amat menggiriskan.
 
Sebelum terjun ke lapangan, Diana beserta GPDT lainnya mengikuti “Pembekalan Pra-Penempatan” selama 7 hari full demi memperoleh pengetahuan yang memadai terkait situasi latar sosial, budaya, dan pendidikan di lokasi tugas Kabupaten Mappi. Ini dilakukan tentu saja agar konsolidasi kerja tim lebih terjaga, kepekaan sosial lebih terarah, dan daya juang di tanah seberang lebih terasah.
 
Terhitung sejak 03 Oktober 2018 Surat Keputusan yang menerangkan Diana sebagai guru honor daerah dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Mappi. Dan mulai 16 November di tahun yang sama pula, Diana mulai bertugas di SD Negeri Atti, kampung Atti, distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Saat itu umurnya baru saja menginjak angka 22 tahun –umur yang masih sangat hijau untuk mengambil keputusan maha genting. Di sinilah ia benar-benar merasakan betapa ironisnya nasib pendidikan di tapal batas Nusantara.
 
Menenun Pendidikan dari Pedalaman
 
Jika ingin mengetahui bagaimana situasi SDN Atti beserta gambaran masyarakatnya, bacalah novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Irisan dan lapisan seluruh permasalahannya nyaris sama. Hanya letak geografisnya yang berbeda-beda. Akses menuju kampung pedalaman yang begitu sulit dan berkelok, sarana prasarana pendidikan yang jauh dari kata layak, serta pola pikir masyarakat yang mengkerdilkan peran pendidikan, adalah di antara setitik problem klasik dari sejuta masalah pendidikan di pedalaman.
 
"Dari distrik Kepi (ibu kota Kabupaten Mappi tempat Diana tinggal) ke Kampung Atti, kami musti menempuh perjalanan nyaris dua hari. Dari Pelabuhan Agham Kepi, kami menyewa perahu motor seharga Rp 500.000 menuju Kampung Kaumi. Perjalanan air ini memakan waktu 9 jam. Sesampai di Kampung Kaumi, kami bermalam dulu di rumah penduduk. Baru paginya kita menuju ke sekolah di Kampung Atti dengan jalan kaki selama 2 jam", terangnya (05/11).
 
Problem jarak ini sebenarnya tak sungguh-sungguh mengganggu pikirannya. Kondisi sarana prasarana sekolah justru yang membuat Diana menggelengkan kepala. Ketiadaan para pengajar, keterbatasan bangku dan meja di beberapa kelas, siswa yang sekolah tanpa seragam dan alas kaki, bahkan untuk pemenuhan kebutuhan alat tulis ia kerap harus membuka donasi. Sebelum Diana datang, bahkan aktivitas belajar-mengajar murid telah terhenti lama lantaran guru dari luar kerap tak datang. Akibatnya banyak siswa-siswi SDN Atti yang masih belum bisa membaca kendati sudah duduk di kelas VI.
 
Tapi itu semua belum seberapa. Problem yang justru membuat Diana mengelus dada adalah pola pikir masyarakat yang awalnya menganggap bahwa pendidikan bukan segalanya, bahkan cenderung tidak penting. Bagi masyarakat Kampung Atti, kerja itu untuk makan, bukan untuk sekolah. Filosofi menyesatkan itu seakan menjalar dan turun temurun dari generasi ke generasi. Problem terakhir inilah yang membuat Diana tak sanggup tidur nyenyak selama sekian malam. Sebab, bukankah inti utama tujuan pendidikan pada dasarnya adalah mengubah pola pikiran?
 
Kalau sekadar runyamnya jarak tempuh dan minimnya sarana prasarana, itu bisa dengan mudah Diana atasi. Ia tak pernah mengeluh kendati sejak awal datang hingga kini masih belum ada pasokan listrik dan sinyal telekomunikasi di Kampung Atti. Ia juga tak terlalu bimbang dengan ketiadaan toko penyedia bahan makanan di Kampung Atti. Karena sejak kecil ia terbiasa dengan situasi paling genting sekalipun. Tapi untuk perubahan pola pikir ini Diana benar-benar memerlukan strategi pendekatan yang tak bisa dihitung dalam konversi hari.
 
Oleh sebab itu, di bulan-bulan awal, ia membangun keran komunikasi secara intens dengan sekitar 200 kepala keluarga di Kampung Atti. Ia bicara dari hati ke hati tentang betapa pentingnya pendidikan untuk menentukan masa depan sang buah hati. "Kalau kerja sekadar untuk makan, lalu bagaimana anak Pace dan Mace bisa jadi orang-orang pintar seperti orang Jakarta? Bagaimana anak-anak bisa menjadi seperti Bupati Kritosimus Yohanes Agamewu? Semua yang kita cita-citakan hanya mungkin tercapai melalui proses pendidikan", begitu diantara bujuk rayu yang dilancarkan Diana.
 
Pelan tapi pasti, persuasi yang dilakukan Diana dan kawan-kawan setitik demi setitik membuahkan hasil. Para orang tua mulai bersemangat menyekolahkan (kembali) anak-anaknya. Bahkan di hari-hari berikutnya, bukan Diana yang membujuk mereka. Tetapi para orang tua masyarakat Kampung Atti yang memohon agar Diana dan kawan-kawan guru tak pernah meninggalkan Kampung Atti. Saking seriusnya permohonan itu, pemenuhan bekal makanan guru yang awalnya harus disiapkan secara mandiri, kini sudah disiapkan oleh seluruh orang tua siswa. Mulai dari ikan, daging, hingga sayur mayur. Tak hanya makanan, masyarakat Kampung Atti pun siap menjamin keamanan semua guru.
 
Karena situasi sudah kondusif untuk belajar, Diana pun merangkai kurikulum sederhana. Targetnya tidak muluk-muluk. Terpenting, bagaimana agar anak-anak di Kampung Atti bisa menguasai Baca-Tulis-Hitung (calistung) di jenjang SD dan sanggup meneruskan ke jenjang berikutnya tanpa kendala berarti. Dan di atas semuanya adalah, bagaimana agar Indonesia tetap bersemayam di sanubari semua masyarakat Kampung Atti. Latar belakangnya sebagai sarjana Pancasila dan Kewarganegaraan, telah membentuknya untuk membawa Sang Saka dimanapun ia berada.
 
Tiap pagi Diana dan dua kawannya dengan telaten mengajari dasar-dasar calistung dan nasionalisme. Sore harinya mereka diajari tatacara bercocok tanam, membuat kompos dari sampah rumah tangga, dan kegiatan-kegiatan praktikum lainnya. Diana juga menyediakan perpustakaan mini yang bisa diakses kapan saja oleh seluruh anak-anak Kampung Atti. Kendati katalog bukunya masih sangat terbatas, ia bersyukur karena kehadiran perpustakaan itu disambut antusias oleh anak-anak.
 
Upaya yang ia lakukan bersama kawan-kawannya di SDN Atti lambat laun membuahkan hasil yang cukup signifikan. Jumlah peserta didik yang awalnya hanya sekitar 65 siswa, per Juli tahun lalu sudah bertambah menjadi 85 siswa. Bahkan, kini sudah banyak siswa yang telah melanjutkan ke sekolah menengah pertama. Pada 2022 sebanyak 24 siswa dan tahun ini sebanyak 14 siswa SD Negeri Atti berhasil masuk SMP. Tak hanya itu, anak-anak yang awalnya banyak tak mengerti identitas negara, apalagi hapal dan paham Pancasila, kini banyak sekali yang berhasil mengimajinasikan Indonesia secara positif dalam batinnya. Dan Diana optimis, angka ini akan senantiasa merangkak grafiknya dari tahun ke tahun. Bukankah optimisme kerap lahir dari sesuatu yang sederhana tetapi berkelanjutan?
 
Sepercik Asa yang didamba
 
Ia tak pernah bermimpi secuilpun akan mendapatkan ganjaran dari pengabdiannya selama 5 tahun di pedalaman Papua. Baginya, mendidik anak-anak di pedalaman dan memberikan mereka optimisme tentang masa depan, sudah lebih dari cukup memberikan pengalaman dan pelajaran paling berharga dalam hidupnya.  Hal itu ia anggap sebagai panggilan semesta yang akan ia rekam selamanya di dalam dada.
 
Akan tetapi, pada 2019 dan 2020, seorang kawan praktisi media tiba-tiba meminta data pribadi Diana dan mendaftarkannya ke pagelaran akbar SATU Indonesia Awards. Kawan itu menganggap bahwa pengabdian Diana sudah sepatutnya mendapat apresiasi yang setimpal. Sayang, saat itu rejeki belum menghampirinya. Baru di tahun 2023, Diana mencoba mendaftarkan diri secara pribadi. Motifnya tentu saja murni demi lebih memaksimalkan lagi aktivitas pembelajaran di Kampung Atti.
 
Ia persiapkan segala sesuatunya dengan matang. Dan, puji Tuhan, Diana Cristiana da Costa Ati tercatat sebagai salah satu (dari 5) peserta yang keluar sebagai juara terpilih dalam bidang pendidikan SATU Indonesia Awards 2023. Ia berhasil menyisihkan 14.997 pendaftar lain dari pemuda-pemudi terbaik sekujur negeri. "Semoga penganugerahan SATU Indonesia Awards 2023 ini bisa menjadi pintu awal untuk bersama menata pendidikan di pedalaman secara lebih baik lagi. Terimakasih Astra telah membuka mimpi anak-anak pedalaman tentang pentingnya pendidikan", ucapnya dengan nada bergetar (05/11). 
 
Presiden Direktur PT Astra International Tbk, Djony Bunarto Tjondro juga mengapresiasi kiprah Diana dalam helatan SATU Indonesia Awards 2023 di Menara Astra Jakarta. “Inovasi dan semangat mereka mengabdi untuk masyarakat adalah sebuah ketulusan untuk bangsa ini dan inspirasi yang patut dicontoh dan diapresiasi oleh kita semua”, (kontan.co.id/01/11).
 
Ketika ditanya, apakah ia tak ingin mencoba peruntungan menjadi guru ASN di kota besar, jawabannya sungguh menyayat hati. "Hingga detik ini tak terbetik sedikitpun pikiran ke arah itu. Fokus saya sekarang adalah bagaimana mempertahankan dan mengembangkan pondasi yang sudah 5 tahun saya bangun bersama kawan-kawan di pedalaman. Untuk masa depan saya serahkan seluruhnya pada Tuhan. Karena saya yakin keberadaan saya di sini juga merupakan kehendak Tuhan", ucapnya bersemangat.
 
Hanya saja ia menggurat seberkas harap, utamanya pada Pemerintah Pusat. Pertama, program GPDT harusnya bisa menjadi program pemerintah pusat. Karena selama ini yang punya perhatian serius tentang pengentasan mirisnya nasib pendidikan di pedalaman baru sebatas Pemerintah Daerah. Belum ada satupun program dari Pemerintah Pusat yang serius mau mengurus pendidikan di perbatasan. Kedua, mereka yang mengabdi di pedalaman mustinya bisa memperoleh afirmasi khusus untuk menjadi ASN. Sebab merekalah sebenarnya ujung tombak yang menggerakkan roda pendidikan di pedalaman agar bisa tetap berjalan.
 
Itulah sepercik harap yang ia sampaikan secara tulus dalam perbincangan panjang dengan penulis tempo hari (05/11). Akan tetapi, kendati belum tertarik menjadi ASN, diam-diam Diana sesungguhnya sudah memacak mimpi sejak jauh hari. Seutas mimpi yang ia peluk setiap hari. Mimpi itu adalah melanjutkan studi magister di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Tujuannya tentu saja bukan semata untuk mengupgrade pengetahuan dalam bidang yang amat ia cintai, tapi lebih dari itu adalah tekad membara untuk memberikan kontribusi yang lebih besar dan berarti lagi bagi masyarakat Kampung Atti. 
 
Sebab, "membangun Indonesia yang sejati harus diawali dengan keberanian mengabdi dan berkiprah di pedalaman. Karena di sanalah mozaik Indonesia yang hakiki bersemayam", pungkasnya mantap kepada penulis (05/11).
 
Bagaimana pemuda-pemudi Indonesia? Sudah siapkah Anda semua mengikuti tapak jejak dan kiprah pengabdian Diana da Costa? Demi kemajuan Indonesia yang lebih berdaulat dan merata.